Bagaimana Rasanya Berjalan di Atas Asteroid? Penjelasan Para Ilmuwan
ANTARIKSA -- Pada bulan September 2022, Uji Pengalihan Asteroid Ganda (Double Asteroid Redirection Test atau DART) NASA membuat sejarah. Misi DART menabrak asteroid dan membuktikan dampak kinetik bisa mengarahkan batu luar angkasa ke jalur tabrakan dengan Bumi.
Misi DART juga mengirimkan gambar permukaan targetnya yang dipenuhi puing-puing, Dimorphos, bulan kecil dari asteroid yang lebih besar, Didymos. Sejumlah gambar itu tidak hanya membuat para ilmuwan menghitung prosedur pendaratan di Didymos, namun juga membayangkan bagaimana rasanya menginjakkan kaki di asteroid atau batu luar angkasa serupa.
Dalam sebuah video yang menjelaskan bagaimana penjelajahan asteroid, ilmuwan planet Naomi Murdoch menjelaskan tantangan pertama yang dihadapi para astronot di Dimorphos adalah batu-batu besar yang tersebar di permukaan asteroid setinggi 170 meter itu. “Batu-batu besar yang menutupi permukaan Dimorphos jauh lebih besar dari yang terlihat,” kata Murdoch dalam rilis Badan Antariksa Eropa (ESA).
Lebar batu di asteroid itu beragam antara 5 hingga 7 meter. Batu terbesar biasanya berukuran sebesar rumah. "Bergerak melintasi batu-batu besar ini kemungkinan akan melibatkan lebih banyak pendakian dan lompatan, daripada berjalan kaki,” kata Murdoch.
Baca Juga: Teleskop Webb dan SOFIA akan Melucuti Kandungan Asteroid Logam Psyche
Kemunculan Dimorphos yang dipenuhi puing-puing menunjukkan dia terbentuk ketika induknya, Didymos, berputar cukup cepat sehingga meluncurkan batu-batu besar dari permukaannya ke luar angkasa. Teori ini didukung oleh fakta bahwa Didymos memiliki bentuk seperti gasing yang berputar, dan permukaannya tampak bersih dari bongkahan batu lepas.
Risiko lain, jika astronot bisa berjalan di permukaan asteroid, ia akan bertabrakan dengan permukaan padat atau tenggelam di bawah permukaannya. Ketika misi OSIRIS-REx NASA mengunjungi asteroid Bennu pada 2020, video pendaratannya menunjukkan salah satu kaki robot mendarat terlalu keras dan hampir tenggelam.
Pasalnya, Bennu merupakan tumpukan puing asteroid yang tersusun sangat longgar sehingga menyerupai lubang bola anak-anak.
“Banyak hal bergantung pada apakah materialnya keras atau lunak, yang akan menentukan seberapa tinggi astronot bisa memantul atau tenggelam,” kata Direktur Penelitian di Observatoire de la Cote d’Azur, Patrick Michel dalam rilis ESA.
“Di asteroid Bennu yang dikunjungi OSIRIS-REx NASA, Anda jelas akan tenggelam jika mendarat terlalu keras,” kata dia.
Risiko lain yang dihadapi oleh manusia yang ingin berjalan di atas asteroid adalah cara mereka menempel pada permukaan asteroid. Di Bumi, gravitasi membuat kita tetap menginjakkan kaki di darat.
Baca Juga: Fakta-Fakta Peluncuran Misi Psyche, Tambang Asteroid Senilai 10 Ribu Kuadriliun Dolar
Untuk benda bermassa jauh lebih kecil, gravitasi tidak akan cukup menghentikan astronot kehilangan pijakan permanen. Bayangkan, gravitasi Dimorphos kurang dari sepersejuta gravitasi Bumi.
Patrick mengatakan, gerakan ke atas 6 cm per detik akan cukup mengirim astronot ke orbit di sekitar asteroid yang mereka jelajahi. “Lompat terlalu cepat, dan Anda mungkin tidak akan pernah turun lagi," kata Naomi.
Tantangan lainnya, lingkungan dengan gravitasi yang sangat rendah akan mudah menghasilkan gerakan tanah yang signifikan. Ini berpotensi memicu longsoran batu.
Artinya, astronot yang menjelajahi asteroid kemungkinan bisa menggunakan paku atau crampon yang serupa dengan milik pendaki gunung agar tetap menempel pada asteroid. Alternatifnya, menggunakan sistem pendorong untuk meluncur di atas permukaan batuan luar angkasa, mirip dengan penyelam scuba yang menjelajahi dasar laut.
Namun, metode terakhir iru memerlukan kehati-hatian yang tinggi.
“Anda sebaiknya menghindari kontak dengan bebatuan di permukaan saat meluncur, karena batu bisa cukup tajam untuk merobek pakaian antariksa Anda. Batu di sana tidak pernah dihaluskan oleh air atau angin,” jelas Naomi.
Selain itu, berada di Dimorphos membuat berat badan Anda bergeser sekitar 10 hingga 20 persen. Itu tergantung di mana Anda berada di permukaan, karena gaya pasang surut dari asteroid induknya, Didymos.
Baca Juga: NASA akan Meluncur ke Asteroid Logam, Mencari Jawaban Misteri Inti Bumi
Eksplorasi di atas asteroid mungkin cukup membingungkan. Namun para astronot juga harus menghadapi efek memusingkan karena langit di atas mereka terus berubah. Ini bisa sangat penting ketika menjelajahi Didymos setelah terkena DART.
“Kemungkinan Dimorphos terkunci pasang surut sebelum tabrakan DART, dan sekarang (setelah ditabrak) berputar atau ‘bergerak’, bergoyang, saat mengorbit Didymos,” kata Patrick.
Jika tidak mustahil, akan butuh waktu lama bagi para astronom untuk bisa mengunjungi Dimorphos atau asteroid lainnya. Namun, misi lanjutan DART, Hera, yang dioperasikan oleh ESA, akan segera mengunjungi bulan kecil tersebut.
Dijadwalkan meluncur pada Oktober 2024, Hera akan mengirim dua CubeSat seukuran kotak sepatu, ?Juventas dan Milani untuk mendarat di Dimorphos. Keduanya akan mengamati lebih lanjut benda langit tersebut.
Ketika CubeSat mendarat, Juventas akan menggunakan gravimeternya guna memastikan bisa beroperasi tanpa tanpa dipengaruhi orientasinya. Sementara, Milani akan menggunakan accelerometer untuk mencatat kekuatan pantulan saat turun ke permukaan, sehingga lebih membatasi gravitasi.
Data tersebut akan dikirim kembali ke Hera dan suatu hari nanti mungkin berguna bagi manusia yang ingin menjelajahi asteroid. Siapa tahu ada pengusaha tajir yang ingin mencoba melewati batasannya. Sumber: Space.com