Sains

Awan Kumulus Menghilang Saat Gerhana Matahari, Ilmuwan Kini Tahu Alasannya

Gerhana matahari melalui awan berkabut dan langit gelap. Planet kita terkena dampak dalam banyak hal ketika Bulan meluncur di depan Matahari. Gambar: David Hannah via Getty Images

ANTARIKSA -- Kemegahan gerhana matahari merupakan hal yang unik di dunia kita. Tidak ada tempat lain di tata surya yang bulannya dapat menghalangi cahaya matahari dengan sempurna. Kegelapan yang cepat dan juga cepat berlalu dari peristiwa tersebut mempengaruhi banyak hal di Bumi, termasuk perilaku hewan dan gelombang di ionosfer.

Para peneliti kini menemukan bahwa tutupan awan kumulus rata-rata turun lebih dari 4 kali lipat, ketika bayangan bulan melewati Bumi selama gerhana cincin terakhir. Aspek gerhana matahari yang jarang dipelajari tersebut memiliki gambaran penting bagi upaya geoengineering menghalangi sinar matahari saat ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bereksperimen dari Luar Angkasa

"Gerhana matahari terjadi 2 hingga 5 kali per tahun, dan peristiwa itu memberikan peluang bagus untuk penyelidikan ilmiah," kata Victor JH Trees, ahli geosains di Delft University of Technology Belanda.

Menurut dia, gerhana matahari adalah objek eksperimen unik yang memungkinkan para peneliti mempelajari apa yang terjadi ketika sinar matahari dengan cepat dikaburkan. “Ini sangat berbeda dari siklus siang-malam pada umumnya,” katanya.

Baca Juga: Dampak Gerhana Matahari terhadap Struktur Lapisan Atas Atmosfer Bumi

Trees dan rekan-rekannya menganalisis data tutupan awan yang diperoleh selama gerhana cincin tahun 2005 di beberapa bagian Eropa dan Afrika. Mereka mengumpulkan citra tampak dan inframerah dari dua satelit geostasioner yang dioperasikan oleh Organisasi Eropa untuk Eksploitasi Satelit Meteorologi.

Menurut Trees, kunci untuk mengukurnya adalah pergi ke luar angkasa. “Jika Anda benar-benar ingin mengukur bagaimana awan berperilaku dan bagaimana mereka bereaksi terhadap gerhana matahari, ada baiknya jika mempelajari area yang luas. Itu sebabnya kami ingin melihatnya dari luar angkasa,” kata dia.

Para peneliti fokus pada wilayah persegi yang membentang 5 derajat pada garis lintang dan garis bujur yang berpusat di atas Sudan Selatan. Dengan perspektif luas, mereka melacak evolusi awan selama beberapa jam menjelang gerhana, selama gerhana, dan setelahnya.

Saat Matahari dan Awan Seiring Berlalu

Hasil mereka menunjukan, awan kumulus tingkat rendah, yang cenderung muncul pada ketinggian sekitar 2 kilometer sangat dipengaruhi oleh tingkat pengaburan matahari. Tutupan awan mulai berkurang ketika sekitar 15 persen permukaan matahari tertutup, sekitar 30 menit setelah dimulainya gerhana.

Awan kumulus mulai kembali lagi sekitar 50 menit setelah pengaburan maksimum. Tutupan awan pada umumnya berkisar 40 persen dalam kondisi tanpa gerhana, dan menurun menjadi kurang dari 10 persen selama pengaburan maksimum matahari.

“Dalam skala besar, awan kumulus mulai menghilang,” kata Trees.

Baca Juga: Siaga, Bumi Baru Dihantam Radiasi Ledakan Matahari Kelas X Ganda dan Terancam Badai Geomagnetik

Untuk menggali ilmu fisika di balik pengamatan mereka, Trees dan rekan-rekannya mengumpulkan pengukuran suhu permukaan tanah dari dua satelit geostasioner yang sama. Menurut dia, suhu bumi penting dalam kaitannya dengan awan kumulus.

"Karena suhu bumi cukup rendah sehingga dapat dipengaruhi secara signifikan oleh apa pun yang terjadi di permukaan bumi," kata dia.

Karena itu, tak mengherankan jika suhu permukaan daratan turun karena bulan semakin menghalangi cahaya matahari. Virendra Ghate, ilmuwan atmosfer di Argonne National Laboratory di Lemont, Illinois mengatakan, perubahan kecil sekalipun pada radiasi matahari memang berdampak pada suhu permukaan tanah. Ghate tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Para peneliti memperkirakan perubahan maksimum suhu permukaan tanah hampir 6 derajat celsius pada gerhana tahun 2005. Mereka juga menemukan suhu permukaan menurun seiring dengan fraksi pengaburan, tanpa jeda waktu yang signifikan. Hal ini konsisten dengan  pengamatan terhadap gerhana matahari lainnya.

Baca Juga: Ledakan Dahsyat dan Badai Matahari akan Terjadi Saat Gerhana Total 8 April 2024

Para peneliti menyimpulkan, penurunan tajam suhu permukaan tanah selama gerhana matahari menjadi pendorong perubahan tutupan awan kumulus. Ghate menilai hal itu masuk akal, karena awan kumulus terbentuk ketika udara yang relatif hangat dan lembab naik dari permukaan bumi, mendingin, dan akhirnya mengembun menjadi tetesan awan.

Ketika suhu permukaan tanah menurun, gradien suhu di dekat permukaan bumi menjadi lebih kecil. Karena itu, gaya yang lebih kecil mendorong udara pembentuk awan ke atas. “Dia tidak memiliki sumber daya apung,” kata Ghate.

Waktu yang dibutuhkan antara awal gerhana dan saat awan mulai menghilang, dan juga antara waktu pengaburan maksimum dan saat awan mulai kembali, juga mengungkap apa yang disebut lapisan batas, tingkat terendah suhu bumi. "Masing-masing kelambanan tersebut memiliki arti fisika. Ini memberi tahu kita seberapa cepat udara naik," kata Trees.

Trees menyarankan, temuan mereka memiliki implikasi bagi upaya geoengineering di masa depan. Hal itu terkait mengurangi dampak perubahan iklim, misalnya dengan menyebarkan aerosol ke atmosfer atau meluncurkan reflektor matahari ke luar angkasa untuk mencegah sebagian cahaya matahari mencapai Bumi.

Para peneliti sepakat bahwa geoengineering semacam itu menjanjikan pendinginan planet kita, namun dampaknya sebagian besar belum diketahui, dan itu bisa meluas dan tidak dapat diubah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan awan bisa berkurang melalui upaya geoengineering yang melibatkan pengaburan matahari.

Baca Juga: Gerhana Matahari Total 8 April adalah Saros 139 , Terulang setiap 54 Tahun

"Dan karena awan memantulkan sinar matahari, efektivitas upaya apa pun mungkin akan berkurang," kata Trees. Itu adalah efek yang perlu diperhitungkan ketika mempertimbangkan berbagai pilihan. Sumber: Live Science

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

- angkasa berdenyut dalam kehendak -