Terungkap, Para Astronot Ternyata Mengalami Sakit Kepala Luar Angkasa, Seperti Apa Itu?
ANTARIKSA -- Penerbangan luar angkasa bisa sangat memusingkan secara harfiah. Sejak program Apollo, para astronot telah melaporkan mengalami sakit kepala selama menjalankan tugas dalam gayaberat mikro.
Banyak dari mereka yang mengalaminya tidak pernah sakit kepala seperti itu di Bumi. Tampaknya sesuatu tentang perjalanan luar angkasa telah memicu gejala seperti migrain atau sakit kepala tegang, termasuk nyeri, kepekaan terhadap cahaya, dan terkadang mual.
Namun, hingga saat ini, laporan-laporan tersebut sebagian besar bersifat sporadis dan bersifat anekdot. Kini sebuah studi baru, yang diterbitkan di Neurology pada 13 Maret 2024, menunjukkan, sakit kepala luar angkasa yang misterius tersebut sebenarnya cukup umum.
Para peneliti menganalisis data dari 24 astronot yang menyimpan catatan selama ekspedisi luar angkasa selama beberapa pekan. Kemudian, data kesehatan retrospektif dari 42 astronot yang melakukan misi luar angkasa sebelum penelitian itu.
Baca Juga: Astronot di ISS akan Kesulitan Melihat Gerhana Matahari Total 8 April, Kenapa?
Mereka menemukan dalam tujuh hari pertama setelah meninggalkan Bumi, sakit kepala bukan sekadar ketidaknyamanan yang terjadi sesekali saja, melainkan hal yang jadi biasa di sana. “Hampir setiap orang yang (disurvei) di luar angkasa menderita sakit kepala pada pekan pertama,” kata Ron van Oosterhout, ahli saraf di Leiden University Medical Center di Belanda dan salah satu penulis makalah baru tersebut.
Prevalensi yang tinggi itu masuk akal bagi para peneliti. Lagi pula, ketika tubuh manusia pertama kali memasuki gayaberat mikro, banyak hal aneh yang terjadi. Darah mulai menggenang di batang tubuh dan kepala, mengakibatkan pembengkakan pada wajah dan terkadang gangguan penglihatan.
Cairan di telinga bagian dalam yang membantu kita menjaga keseimbangan juga terganggu oleh kurangnya gravitasi. Hal itu menyebabkan rasa disorientasi dan mabuk perjalanan.
Astronot biasanya beradaptasi dengan gejala-gejala tersebut, dan ketidaknyamanan mulai hilang setelah beberapa hari berada di luar angkasa. Namun tidak dengan sakit kepala luar angkasa.
Bagi 87 persen astronot yang disurvei, sakit kepala terus berulang selama misi mereka, sering kali disertai tekanan sinus dan hidung tersumbat. Lebih dari separuh astronot yang disurvei setelah kembali ke Bumi melaporkan mengalami setidaknya satu kali sakit kepala selama misi mereka.
Banyak peserta melaporkan mengobati gejala-gejala tersebut dengan meminum aspirin atau obat pereda nyeri lainnya. Yang lain melaporkan bahwa tidur dan olahraga bisa membantu mereka.
Meskipun penyebab pastinya sulit dipastikan, para peneliti menduga sakit kepala ini berasal dari peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh redistribusi cairan dalam tubuh astronot. Saat gravitasi mengendurkan cengkeramannya, darah, getah bening, dan cairan serebrospinal menjauh dari lokasi biasanya dan mulai memberikan tekanan ke tempat lain.
Jika hal itu yang menyebabkan sakit kepala di luar angkasa, maka hal itu konsisten dengan kondisi perjalanan luar angkasa yang disebut sindrom neuro-okular terkait penerbangan luar angkasa, yaitu tekanan cairan di bagian belakang mata sehingga mengganggu penglihatan astronot.
Sakit kepala luar angkasa bisa jadi lebih umum terjadi daripada yang diperkirakan oleh penelitian. “Salah satu masalah dalam mengevaluasi sakit kepala adalah bahwa ia bersifat subjektif, dan ingatan sakit kepala rentan terhadap bias pelaporan,” kata profesor neurologi di Universitas Birmingham Inggris, Alexandra Sinclair.
"Astronot mungkin meremehkan frekuensi dan tingkat keparahan gejala yang mereka alami karena takut dianggap lemah, misalnya," kata Sinclair yang tidak terlibat dalam penelitian itu.
Ukuran sampel yang terbatas juga menghadirkan tantangan. Menurut Sinclair, idealnya penelitian itu mampu mengumpulkan data dari lebih banyak orang. Namun, hal itu hampir mustahil dilakukan dalam penelitian luar angkasa.
"Dia mencatat bahwa para peneliti melakukan pekerjaan terpuji dalam mengatasi keterbatasan ini dan menyebut makalah ini sangat penting dan menarik," kata dia.
Untuk mendapatkan gambaran lebih baik tentang penyebab sakit kepala luar angkasa tersebut, van Oosterhout dan timnya berencana membandingkan laporan astronot dengan data biologis. Termasuk pemindaian mata, pemindaian otak, dan sampel darah, rambut, dan urin.
Baca Juga: Astronot di Luar Angkasa Tertegun Menyaksikan Aurora Spektakuler Memeluk Bumi
Pada akhirnya, van Oosterhout berharap bahwa penelitian itu akan membantu para ilmuwan mengobati sakit kepala yang dialami manusia. Sebab, orang bisa mengalami sakit kepala karena tegang yang serupa di Bumi.
“Saya sangat menyukai penelitian luar angkasa.Tetapi pada saat yang sama, saya juga merasa bahwa segala sesuatu yang kita lakukan perlu dilakukan demi memberikan manfaat bagi manusia di Bumi,” kata dia. Sumber: Space.com