News

Kontroversi Pemakaman di Bulan, Ilmuwan Minta AS Belajar dari Indonesia

Astronot sedang mengambil sampel di bulan. Misi komersial pemakaman di bulan kini menjadi kontroversial. Gambar: NASA

ANTARIKSA -- Ketika Badan Antariksa Amerika, NASA berupaya kembali ke Bulan untuk pertama kalinya dalam 50 tahun, pada 8 Januari 2024, kontroversi besar terjadi. Penduduk asli Amerika, Navajo berupaya menghentikan peluncuran misi karena adanya penyertaan yang tidak biasa dalam penerbangan tersebut.

Pesawat pendarat bulan Peregrine milik Astrobotic tidak hanya membawa instrumen ilmiah NASA dan berbagai negara lain, tetapi juga abu, DNA, dan sisa jasad manusia lainnya. Peregrine yang akhirnya dijuluki 'yang terkutuk' tidak pernah sampai menyentuh bulan; terbakar di atmosfer bumi 10 hari setelah peluncurannya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kontroversi dan kegagalan misi menjadi pertanyaan besar bagaimana pemerintah Amerika Serikat mengatur misi luar angkasanya. Sebab, ketika eksplorasi ruang angkasa semakin diprivatisasi dan komersial, siapapun bisa mengirim barang favoritnya ke bulan. 

Profesor Ilmu Komunikasi dan Astrobiologi UNSW Sydney, Carol Oliver mengatakan, semua muatan komersial yang diluncurkan dari wilayah AS memerlukan persetujuan. Namun proses persetujuan tersebut saat ini hanya mencakup keselamatan, keamanan nasional, dan kebijakan luar negeri.

Baca Juga: Pemakaman Pertama di Bulan Gagal, Berapa Biaya sekali Mengirim Jasad Manusia?

"Peregrine, jika berhasil, akan menandai penguburan komersial pertama di bulan. Ini adalah wilayah yang belum dipetakan karena dunia lain yang dapat dijangkau, meskipun (kontroversi) ini bukan pertama kalinya muncul," kata Oliver kepada Live Science.

20 tahun yang lalu, bangsa Navajo melakukan protes keras saat NASA membawa sebagian abu Eugene Shoemaker ke Bulan dengan wahana Lunar Prospector. NASA kemudian berjanji akan berkonsultasi dengan Navajo jika ada misi tak biasa seperti itu ke depan.

"Seperti banyak budaya asli lainnya, Bangsa Navajo menganggap Bulan suci dan menentang penggunaannya sebagai situs peringatan (monumen,pemakaman, pembuangan sampah)," kata Oliver.

Namun, menanggapi protes untuk misi Peregrine, NASA mengatakan mereka tidak memiliki kendali atas apa yang dimuat pesawat itu. Hal itu menunjukkan adanya kesenjangan antara perusahaan komersial dan hukum ruang angkasa internasional, terutama di AS sendiri.

Baca Juga: Bangsa Navajo Desak NASA Batalkan Pengiriman Sisa Jasad Manusia ke Bulan

Perlunya Mengatur Misi Swasta

Selfie diambil oleh pendarat bulan Peregrine milik Astrobotic pada 18 Januari 2024. Bumi sabit terlihat di latar belakang. Gambar: Astrobotic

Oliver juga menyoroti kebiasaan berbeda di berbagai negara mengenai pemakaman. Bagaimana abu jenazah bisa ditempatkan, ditangani, diangkut, dan tersebar ke luar angkasa. Misalnya di Jerman, abunya harus dikuburkan. Apakah mereka akan menggali tanah abu-abu bulan?

"Dengan semakin cepatnya privatisasi ruang angkasa, labirin etika dan hukum semakin dalam," katanya.

Perjanjian Luar Angkasa atau the Outer Space Treaty (OST) mendeklarasikan luar angkasa sebagai provinsi seluruh umat manusia dan melarang perampasan atas nama negara. Namun, upaya tersebut gagal mengatasi apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan swasta dan individu di sana.

Perjanjian baru, Artemis Record yang sudah ditandatangani 32 negara, memperluas perlindungan terhadap situs-situs bulan yang memiliki makna sejarah. Namun perlindungan tersebut juga hanya berlaku untuk pemerintah, bukan misi komersial.

Baca Juga: NASA Tunda Misi Artemis II dan III, Pendaratan Astronot di Bulan Mundur Sampai 2026, Ini Sebabnya

"Dan tidak ada seorang pun yang memiliki Bulan, dunia atau benda langit lainnya untuk memberikan hak penguburan," kata Oliver.

Perjanjian harusnya mewajibkan negara mengizinkan dan mengawasi seluruh aktivitas di luar angkasa. Izin tersebut juga membutuhkan perhatian yang semestinya terhadap kepentingan negara lain.

Oliver mengatakan, banyak negara telah memiliki Undang-undang antariksa yang memuat alasan untuk menolak muatan barang yang tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Dia menyebut Indonesia dan Selandia Baru termasuk di dalamnya.

"Negara-negara yang tampaknya tidak mempertimbangkan hal tersebut, termasuk Australia dan Amerika Serikat, mungkin perlu memperluas pola tersebut seiring munculnya dunia komersial yang biasanya bersifat tradisional," kata dia.

Baca Juga: Abaikan Protes Bangsa Navajo, Perusahaan Pemakaman di Bulan: Kami tak Mau Didikte Agama

Saat ini, orbit bumi saja telah tersumbat oleh berbagai satelit yang tidak berfungsi. Lebih jauh lagi, orbit kita dikotori oleh barang-barang seperti Tesla milik Elon Musk.

Seperti yang diungkapkan arkeolog luar angkasa, Alice Gorman, manusia telah menyebarkan wahana antariksa ke berbagai dunia lain, termasuk Bulan, Mars, Titan, dan Venus. Namun hampir semuanya bernilai, dan bukan sampah.

Misalnya, para astronot Apollo meninggalkan kenang-kenangan resmi, seperti sebuah plakat yang menandai langkah kaki manusia pertama di permukaan bulan. "Namun, mengirimkan potongan rambut atau abu anjing peliharaan Anda ke Bulan mungkin tidak dianggap penting secara budaya dan sejarah," kata Oliver.

Oliver menekankan, aturan harus menentukan garis yang jelas sebelum melangkah keluar ke kosmos dunia lain. Kita tidak bisa memutar balik waktu, namun misi yang gagal dengan muatan abu dan batil itu menjadi contoh pentingnya infrastruktur hukum dan etika untuk mendukung kegiatan komersial.

Baca Juga: Pendarat Jepang di Bulan Belum Mati, Tetapi Sekarat Menunggu Paparan Matahari

"Ada baiknya kita berhenti sejenak untuk memikirkan komersialisasi di masa depan, seperti penambangan asteroid dan kolonisasi ruang angkasa," kata dia. Sumber: Live Science

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

- angkasa berdenyut dalam kehendak -