Sakratul Maut, Ilmuwan Ungkap Apa yang Terjadi Menjelang Kematian
ANTARIKSA -- Pada beberapa pasien serangan jantung, terjadi aktivitas otak yang berlebihan selama CPR, tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab tertentu. Aktivitas otak yang menyelamatkan nyawa tersebut kemungkinan menjadi pengalaman mendekati kematian, atau sempat sakratul maut.
Kematian adalah ketika jantung kita berhenti berdetak dan semua aktivitas listrik di otak kita 'datar'. Tapi apa yang terjadi dalam proses kematian itu, atau masa transisi antara hidup menuju mati membuat orang penasaran.
Manusia telah menanyakan pertanyaan tentang proses kematian itu sejak dahulu kala. Ini sulit karena orang mati biasanya tidak memberitahu kita tentang pengalaman mereka.
Teks-teks keagamaan mampu memberikan banyak penjelasan. Namun para ilmuwan belum menyerah untuk memberikan jawaban mereka sendiri, dan mereka membuat beberapa langkah untuk lebih memahami proses transisi otak dari kehidupan ke kematian.
Baca Juga: Setelah Matahari Mati, Ilmuwan Temukan Kemungkinan Adanya Kehidupan
Ambisi para ilmuwan menjadi meningkat karena adanya penelitian yang memantau otak orang-orang yang berada dalam pergolakan kematian. Beberapa dari individu tersebut mampu melaporkan kembali apa yang mereka alami.
Menurut temuan yang dipublikasikan pada 14 September 2023 di jurnal Resuscitation, otak beberapa pasien serangan jantung yang sempat datar mengalami aktivitas yang sibuk selama CPR, meskipun jantung mereka berhenti berdetak hingga satu jam. Sebagian kecil peserta penelitian yang selamat, mampu mengingat pengalaman tersebut, dan satu orang mampu mengidentifikasi stimulus audio yang diputar saat dokter mencoba menyadarkan mereka.
"Para peneliti menafsirkan rekaman otak yang mereka buat dari pasien-pasien ini sebagai penanda 'pengalaman kematian yang jelas dan dapat diingat', sebuah pengamatan yang belum pernah mungkin terjadi sebelumnya,” kata penulis utama penelitian tersebut, Sam Parnia, profesor kedokteran di NYU Langone Health.
“Kami juga mampu mengemukakan penjelasan yang koheren dan mekanistik mengapa hal ini terjadi.”
'Pengalaman kematian yang diingat', adalah istilah yang lebih disukai Parnia daripada 'pengalaman mendekati kematian' untuk penelitian itu. Sebab, keakuratannya telah dilaporkan di berbagai budaya sepanjang sejarah.
Beberapa ilmuwan Barat sebelumnya menganggap cerita-cerita tersebut sebagai halusinasi atau mimpi. Namun baru-baru ini, beberapa tim peneliti mulai memberikan perhatian yang lebih serius terhadap fenomena tersebut sebagai sarana untuk menyelidiki kesadaran dan mengungkap misteri kematian.
Baca Juga: Fosil Mirip Alien Kini Diteliti dengan Laser 3D, Monster Tully Tetap Misterius
Dalam studi baru tersebut, Parnia dan rekan-rekannya berusaha menemukan tanda biologis dari pengalaman kematian yang diingat. Mereka bekerja sama dengan 25 rumah sakit, terutama di AS dan Inggris. Petugas medis menggunakan perangkat portabel yang diletakkan di kepala pasien yang mengalami keadaan darurat jantung untuk mengukur kadar oksigen otak dan aktivitas listrik tanpa mengganggu perawatan medis.
Para peneliti juga menguji persepsi sadar dan tidak sadar dengan memasang headphone pada pasien. Perangkat itu memutar rekaman berulang-ulang nama tiga buah, yaitu pisang, pir, dan apel.
Dalam hal pembelajaran bawah sadar, seseorang yang tidak ingat pernah mendengar nama buah-buahan ini, diminta secara acak memikirkan tiga buah. Kemungkinan mereka masih memberikan jawaban yang benar. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan, misalnya, bahwa bahkan orang yang berada dalam keadaan koma pun dapat secara tidak sadar mempelajari nama-nama buah atau kota jika kata-kata tersebut dibisikkan ke telinga mereka.
Antara Mei 2017 dan Maret 2020, 567 orang mengalami serangan jantung di rumah sakit yang bekerja sama dengan penelitian pengalaman kematian tersebut. Staf medis berhasil mengumpulkan data oksigen dan aktivitas otak yang dapat digunakan dari 53 pasien.
Sebagian besar menunjukkan keadaan garis datar listrik pada monitor otak electro encephalo graphic (EEG).
Namun, sekitar 40 persen kemudian mengalami aktivitas listrik yang muncul kembali pada suatu saat dengan gelombang otak normal hingga mendekati normal yang konsisten dengan kesadaran. Aktivitas ini terkadang pulih hingga 60 menit setelah CPR.
Dari total 567 pasien, hanya 53 orang yang selamat dari kematin. Para peneliti melakukan wawancara dengan 28 orang yang selamat tersebut. Mereka juga mewawancarai 126 orang dari komunitas yang pernah mengalami serangan jantung karena jumlah sampel yang selamat dari penelitian baru itu sangat kecil.
Hampir 40 persen melaporkan adanya kesadaran akan peristiwa yang mereka alami tanpa disertai kenangan khusus. Namun, sebanyak 20 persen memiliki kenangan akan pengalaman 'kematian' singkat tersebut. "Banyak dari kelompok terakhir tersebut menggambarkan peristiwa yang mereka hadapi adalah semacam 'evaluasi moral' atas seluruh hidup mereka dan cara mereka berperilaku,” kata Parnia.
Dalam wawancara mereka dengan para penyintas, para peneliti menemukan hanya satu orang yang mampu mengingat nama buah-buahan yang telah dimainkan saat mereka menerima CPR. Parnia mengakui, orang ini bisa saja menebak nama buah itu secara kebetulan. Kesimpulannya, mereka yang mengalami peristiwa menjelang kematian, tidak menerima informasi lain saat CPR.
Baca Juga: Ilmuwan Ini Jelaskan Bagaimana NASA Membunuh Alien di Mars 50 Tahun Lalu
Parnia dan rekan-rekannya telah mengembangkan hipotesis kerja untuk menjelaskan temuan mereka. Biasanya, otak memiliki 'sistem pengereman' yang menyaring sebagian besar elemen fungsi otak dari pengalaman kesadaran kita. Hal ini memungkinkan orang untuk beroperasi secara efisien di dunia ini. "Dalam keadaan biasa, Anda tidak dapat berfungsi jika ada akses ke seluruh aktivitas otak Anda yang berada di alam kesadaran," katanya.
Namun, pada otak yang sekarat, para peneliti berhipotesis bahwa sistem pengeremannya dihilangkan. Itu menjadikan bagian yang biasanya tidak aktif menjadi aktif, dan orang yang sekarat mendapatkan akses ke seluruh kesadarannya. "Semua pikiran Anda, semua ingatan Anda, semua yang telah disimpan sebelumnya," kata Parnia.
Kami, kata dia, tidak mengetahui manfaat evolusioner dari hal tersebut. "Namun, tampaknya hal itu mempersiapkan manusia untuk transisi dari kehidupan ke kematian."
Temuan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang ketahanan otak terhadap kekurangan oksigen. Bisa jadi, kata Parnia, beberapa orang yang selama ini dianggap sudah tidak bisa lagi bangun, ternyata bisa dihidupkan kembali.
“Pemikiran tradisional di kalangan dokter adalah bahwa otak, setelah kekurangan oksigen selama lima hingga 10 menit, akan mati,” katanya.
“Kami dapat menunjukkan bahwa otak cukup kuat dalam hal kemampuannya melawan kekurangan oksigen dalam jangka waktu lama, yang membuka jalur baru untuk menemukan pengobatan kerusakan otak di masa depan.”
Dokter unit perawatan intensif di Departemen Veteran Jennifer Moreno dari Affairs Medical Center di San Diego, California, Lakhmir Chawla mengatakan, penelitian baru tersebut mewakili upaya besar untuk memahami seobjektif mungkin sifat dan fungsi otak. "Yang mungkin bisa diterapkan pada kesadaran dan pengalaman mendekati kematian selama serangan jantung," kata dia. Chawla tidak terlibat dalam penelitian tersebut, namun telah menerbitkan makalah tentang lonjakan aktivitas EEG pada saat kematian pada beberapa pasien.
Meskipun hasil yang dilaporkan Parnia dan rekan-rekannya begitu mencengangkan dari sudut pandang ilmiah, Chawla menilai hasilnya harus dipublikasikan. “Saya percaya bahwa kita harus membiarkan data ini juga memberikan informasi kepada umat manusia,” katanya.
Pertama, kata dia, temuan ini harus memaksa dokter untuk memperlakukan pasien yang menerima CPR seolah-olah mereka sudah sadar. Sebab, hal itu jarang dilakukan para dokter.
"Dan bagi individu yang tampaknya tidak bisa diselamatkan, kata Chawla, dokter dapat mengundang keluarga mereka untuk datang mengucapkan selamat tinggal. “Karena pasien mungkin masih dapat mendengarkan mereka.” Sumber: Live Science