Geoffrey Hinton, Penerima Nobel Fisika 2024 yang Kini Takut dengan AI yang Diciptakannya!
ANTARIKSA -- Geoffrey Hinton, yang dijuluki sebagai "Dewa AI," baru saja dianugerahi Hadiah Nobel Fisika 2024 atas kontribusinya dalam pengembangan kecerdasan buatan. Hinton dikenal karena perannya dalam menciptakan jaringan saraf yang menjadi dasar teknolog kecerdasan buatan (AI) modern, yang kini merubah cara manusia berinteraksi dengan mesin.
Sejenak di musim semi tahun lalu, sosok peneliti asal Inggris yang berkacamata, Geoffrey Hinton, muncul di layar TV di seluruh dunia. Hinton, sosok terkenal dalam dunia AI memberikan peringatan bahwa teknologi yang ia bantu ciptakan yang membawanya meraih Hadiah Nobel 2024—dapat menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia.
“Seberapa besar kemungkinan AI akan memusnahkan umat manusia?” tanya seorang jurnalis dari jaringan CBS News pada Maret tahun lalu.
Mengubah Dunia dengan AI: Geoffrey Hinton dan Kohn Hopfield Berbagi Nobel Fisika 2024!
“Itu tidak bisa dianggap remeh,” jawab Hinton dengan nada merendah yang sangat khas.
Beberapa minggu kemudian, ia meninggalkan pekerjaannya di Google dan mulai memberikan wawancara di berbagai media. Dia lalu menjadi sosok ikonik bagi para pessimistis tentang AI.
Kehidupan Keluarga yang Sulit
Hinton, akademisi berusia 76 tahun lahir di London, dibesarkan di Bristol, dan menempuh pendidikan di Universitas Cambridge dan Edinburgh. Ia menggambarkan masa kecilnya sebagai periode yang penuh tekanan, berusaha memenuhi ekspektasi keluarga dengan sejarah yang luar biasa,. Ayahnya merupakan anggota Royal Society.
Ia mengungkapkan kepada majalah Toronto Life bahwa ia telah berjuang melawan depresi sepanjang hidupnya, dan pekerjaan menjadi cara untuk melepaskan tekanan. Namun, Hinton jarang bisa sepenuhnya larut dalam pekerjaannya.
Istri pertamanya meninggal karena kanker tak lama setelah mereka mengadopsi dua anak pada awal 1990-an, menjadikannya sebagai orang tua tunggal. “Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seorang wanita dengan anak-anak bisa memiliki karir akademis,” katanya kepada Toronto Life.
“Saya terbiasa menghabiskan waktu hanya memikirkan ide-ide… Tetapi dengan anak kecil, itu tidak mungkin.”
Seorang sosialis
Setelah menghabiskan waktu di universitas di Amerika Serikat pada akhir 1970-an dan 1980-an, Hinton pindah ke Toronto pada tahun 1987 dan menjadi basisnya hingga kini. Sebagai seorang sosialis, ia menolak menerima dana dari militer AS, yang merupakan penyandang dana terbesar untuk riset semacam ini.
Pemerintah Kanada setuju untuk mendukung penelitiannya yang berusaha mereplikasi fungsi otak manusia melalui rekayasa “jaringan saraf” buatan.
Meskipun ia menghabiskan bertahun-tahun di pinggiran dunia akademis, komunitas riset tumbuh di sekelilingnya di kota Kanada tersebut, dan visinya akhirnya mendominasi bidang ini.
Bergabung dengan Google
Kemudian, Google datang mengetuk. Ia menerima pekerjaan di raksasa Silicon Valley itu pada tahun 2013 dan tiba-tiba menjadi salah satu tokoh sentral dalam industri yang sedang berkembang.
Ketika persaingan semakin ketat, banyak mahasiswanya mengambil posisi di perusahaan-perusahaan seperti Meta, Apple, dan Uber. Ilya Sutskever, pendiri OpenAI, bekerja di tim Hinton selama bertahun-tahun dan menggambarkan waktu tersebut sebagai “krusial” untuk karirnya.
Ia menyatakan kepada situs web Universitas Toronto pada tahun 2017 bahwa mereka mengejar “ide-ide yang sangat tidak dihargai oleh sebagian besar ilmuwan, tetapi ternyata sangat tepat.”
Namun, Sutskever dan Hinton kini menjadi sosok yang mengkhawatirkan teknologi tersebut—Sutskever didorong keluar dari OpenAI karena mengungkapkan kekhawatirannya tentang produk mereka setahun setelah Hinton keluar dari Google.
Dari Penerimaan Hingga Kekhawatiran
Selama pidato penerimaan Hadiah Nobel—yang ia terima di sebuah "hotel murah di California"—Hinton masih berbicara tentang penyesalan ketimbang kesuksesan. “Dalam keadaan yang sama, saya akan melakukan hal yang sama lagi,” ujarnya.
“Tapi saya khawatir bahwa konsekuensi keseluruhan dari ini mungkin adalah sistem yang lebih cerdas daripada kita yang akhirnya mengambil kendali.”
Penghargaan Nobel ini tidak hanya mengakui prestasi Hinton, tetapi juga menyoroti pentingnya etika dan tanggung jawab dalam pengembangan teknologi AI.