Terungkap, Mars Punya Siklus Berbahaya, Mengerek Bumi ke Matahari
ANTARIKSA -- Penelitian baru menunjukkan tarikan gravitasi Mars terhadap Bumi telah mempengaruhi iklim di planet kita. Bukti geologis yang berusia lebih dari 65 juta tahun dan diambil dari ratusan lokasi di seluruh dunia menunjukkan arus laut dalam telah berulang kali berganti periode, antara lebih kuat atau lebih lemah.
Peristiwa itu terjadi setiap 2,4 juta tahun dan dikenal sebagai siklus besar astronomi. Arus yang lebih kuat, yang dikenal sebagai pusaran air raksasa, mungkin mencapai dasar laut di bagian terdalam lautan, yang dikenal sebagai jurang maut.
Arus kuat itu kemudian mengikis sebagian besar sedimen yang terakumulasi selama periode siklus yang lebih tenang. Penelitian tersebut telah diterbitkan di jurnal Nature Communications pada Selasa, 12 Maret 2024.
Para peneliti menemukan, siklus tersebut terjadi bertepatan dengan waktu interaksi gravitasi antara Bumi dan Mars, saat kedua planet mengorbit matahari. “Medan gravitasi planet-planet di tata surya saling mengganggu dan interaksi yang disebut resonansi itu, mengubah eksentrisitas planet, ukuran seberapa dekat orbitnya menjadi lingkaran,” kata rekan penulis studi, Dietmar Muller. Ia adalah profesor geofisika di Universitas Sydney.
Baca Juga: India Jelajahi Mars dengan Helikopter Super Canggih, Melebihi Punya NASA?
Karena resonansi itu, Bumi tertarik sedikit lebih dekat ke Matahari oleh tarikan gravitasi Mars. Artinya, planet kita terkena lebih banyak radiasi matahari dan karenanya memiliki iklim yang lebih hangat, sebelum kembali mundur lagi, dalam jangka waktu 2,4 juta tahun.
Para peneliti menggunakan data satelit untuk memetakan akumulasi sedimen di dasar laut selama puluhan juta tahun. Mereka menemukan adanya celah dalam catatan geologi di mana sedimen berhenti menumpuk sesuai siklus astronomi.bMereka percaya hal itu mungkin disebabkan oleh arus laut yang lebih kuat akibat cuaca yang lebih hangat oleh pengaruh gravitasi Mars terhadap Bumi.
Sejumlah temuan itu mendukung gagasan bahwa Planet Merah mempengaruhi iklim di Bumi, seperti halnya teori bintang yang lewat dan objek astronomi lainnya. Namun, efek pemanasan yang diamati tidak terkait dengan pemanasan global yang disebabkan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia.
Meskipun masih bersifat spekulatif, para penulis menekankan temuan mereka menunjukkan siklus tersebut kemungkinan membantu menjaga arus dalam laut secara berkala jika pemanasan global menurunkan arus tersebut. “Kami tahu setidaknya ada dua mekanisme terpisah yang berkontribusi terhadap kuatnya pencampuran air dalam di lautan,” kata Müller.
Salah satu mekanisme itu dikenal sebagai Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC). Ia bertindak sebagai 'ban berjalan' samudera, membawa air hangat dari daerah tropis ke belahan bumi utara, dan dalam prosesnya menarik panas jauh ke laut.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mendorong Bumi ke Wilayah Asing yang tidak Layak Huni
Beberapa ilmuwan memperkirakan AMOC kemungkinan akan runtuh dalam beberapa dekade mendatang. Artinya, distribusi air akan terhenti, dan iklim akan kacau.
Jika itu terjadi, ventilasi yang disebabkan oleh pusaran laut dalam dari penelitian baru mungkin bisa memberikan manfaat. Penulis utama studi dan ahli sedimentologi di Universitas Sydney, Adriana Dutkiewicz mengatakan, data laut dalam selama 65 juta tahun menunjukkan lautan yang lebih hangat memiliki sirkulasi dalam yang lebih kuat.
“Hal ini berpotensi menjaga lautan agar tidak tergenang bahkan jika sirkulasi pembalikan meridional Atlantik melambat atau berhenti sama sekali,” kata dia. Sumber: Live Science