Para Ilmuwan Ciptakan Kembaran Digital Bumi untuk Mensimulasikan Bencana Alam
ANTARIKSA -- Anda mungkin masih ingat pelajaran ketika sekolah dasar, tentang tiga komponen sederhana siklus air yang terus berulang: Penguapan, kondensasi, dan presipitasi. Namun demikian, prosesnya bisa menjadi sangat rumit jika kita memperhitungkan iklim yang terus berubah, yang didorong oleh aktivitas manusia.
Planet kita memang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, zat yang membentuk 71 persen dari seluruh permukaan dunia, dan lautan menampung sekitar 97 persen dari jumlah tersebut. Karenanya, bencana alam berbasis air termasuk banjir, tanah longsor, dan kekeringan mengancam kehidupan kita.
Agar para ilmuwan bisa membuat perkiraan seakurat mungkin cara kerja siklus air, mereka perlu memiliki model yang berisi data beresolusi tinggi sebanyak mungkin. Idealnya, data itu juga mencakup setiap inci planet ini, mulai dari puncak gunung tertinggi hingga air yang terkubur jauh di dalam tanah.
Di sinilah peran penting yang dibangun Badan Antariksa Eropa (ESA). Berkat pendanaan mereka, para ilmuwan kini berhasil membangun kembaran digital Bumi (Digital Twin Earth), dan seluruh perairannya yang indah, yang bisa langsung diamati.
Baca Juga: NASA Kirim Pesawat Antariksa Kembar ke Ujung Bumi, Mengukur Perubahan Iklim
“Mensimulasikan Bumi dengan resolusi tinggi sangatlah kompleks, dan pada dasarnya idenya adalah pertama, fokus pada target tertentu,” kata Luca Brocca dari Dewan Riset Nasional Italia dalam sebuah pernyataan.
Menurut dia, ide itu kemudian berkembang menjadi apa yang kini mereka kembangkan, yaitu studi kasus kembaran digital Bumi untuk siklus air terestrial di Cekungan Mediterania. Penelitian tersebut dipublikasikan pada 5 Maret di jurnal Frontiers in Science.
"Tujuan kami adalah menciptakan sistem yang memungkinkan non-ahli, termasuk pengambil keputusan dan warga negara, bisa menjalankan simulasi interaktif,” kata dia.
Brocca, yang merupakan penulis utama artikel mendalam tentang penelitian tersebut, bekerja sama dengan rekan-rekannya untuk menciptakan kembaran digital tersebut. Dengan model ini, para ilmuwan bisa memasukkan data baru secara konsisten untuk menyimulasikan skenario bencana alam terbaik dan terburuk di berbagai lingkungan di seluruh planet kita.
Misalnya, dengan mereplikasi tanah longsor, risiko dan kondisi terkait yang menyertainya bisa dipantau seolah-olah terjadi secara real-time. Hal ini selanjutnya membantu kesiapsiagaan menghadapi kejadian yang berpotensi merusak di masa depan berdasarkan apa yang dipelajari melalui setiap simulasi.
Jadi, bagaimana model ini dibuat?
Baca Juga: Teknologi Kaca Pendingin Melawan Perubahan Iklim dengan Memantulkan Radiasi Matahari
Dibutuhkan kerja keras dari para ilmuwan untuk memanfaatkan sebanyak mungkin data satelit, yang diperoleh melalui banyak observasi Bumi. Mereka kemudian menggabungkan pengukuran dari kelembaban tanah, curah hujan, kedalaman salju, penguapan dan debit sungai, yang diambil dalam interval waktu tertentu. Hal itu akan memberikan gambaran yang jelas tentang dinamika variabel di seluruh planet.
Kemudian, data model beresolusi tinggi itu bisa digunakan sebagai alat interaktif bagi para ilmuwan. “Proyek ini merupakan contoh sempurna sinergi antara misi satelit mutakhir dan komunitas ilmiah. Kolaborasi seperti ini, ditambah dengan investasi pada infrastruktur komputasi, akan sangat penting dalam mengelola dampak perubahan iklim dan manusia lainnya,” kata Brocca.
Seperti halnya model apa pun, dibutuhkan latihan untuk mencapai kesempurnaan. Tapi intinya, harus dimulai dari suatu tempat.
Brocca dan rekannya menggunakan kembaran digital Bumi untuk memodelkan lembah Sungai Po di Italia Utara dan bagian lain cekungan Mediterania. Mereka juga berencana membuat model serupa di seluruh Eropa sebelum berkolaborasi dengan ilmuwan dari benua lain.
Tujuan utama dari proyek itu adalah membantu memperkirakan kemungkinan terjadinya banjir dan tanah longsor dengan mempelajari cara terbaik mengelola sumber daya air.
“Kita harus memulai dari sesuatu yang kita ketahui dengan baik. Lembah Sungai Po sangat kompleks, kita punya Pegunungan Alpen, kita punya salju, yang sulit untuk disimulasikan, terutama di medan yang tidak teratur dan kompleks seperti pegunungan," kata Brocca.
Kemudian, ada lembah dengan semua aktivitas manusia; industri, irigasi. Lalu, ada sungai dan kejadian ekstrem; banjir, kekeringan. Kemudian pindah ke Mediterania, yang merupakan tempat yang baik guna menyelidiki kejadian ekstrem yang disebabkan air, baik karena terlalu banyak atau terlalu sedikit.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mendorong Bumi ke Wilayah Asing yang tidak Layak Huni
Meskipun pemodelan yang dilakukan tim itu berfokus pada wilayah berskala lebih besar, ada juga rencana melakukan studi yang lebih lokal. Namun, untuk saat ini, para ilmuwan terus fokus pada tantangan terbesar dan paling persisten dalam mekanisme mereka.
Misalnya, algoritme kompleks yang mereka kembangkan perlu dirawat karena sejumlah besar data terus ditambahkan. Ada juga kebutuhan melakukan lebih banyak observasi lapangan agar terus memverifikasi data satelit yang mereka gunakan.
Demikian pula, untuk mengatasi ketidakpastian yang mungkin timbul saat menggunakan data satelit, Brocca berharap bisa memasukkan kecerdasan buatan (AI) dalam programnya. Bisa dibilang, AI akan bertindak seperti sepasang mata tambahan, jika bisa dilatih dengan baik.
Seperti yang terjadi pada penggunaan AI dalam model cuaca, seperti untuk memprediksi kebakaran hutan, manfaat dari kolaborasi tersebut bisa meminimalkan kesalahan yang terkadang terjadi akibat perubahan kondisi atmosfer saat gambar diambil. Penerapan AI juga bisa menghemat waktu, memungkinkan teknisi manusia fokus pada bidang lain yang menjadi perhatian.
“Upaya kolaboratif para ilmuwan, badan antariksa, dan pengambil keputusan menjanjikan masa depan di mana Digital Twin Earth untuk hidrologi memberikan wawasan yang sangat berharga bagi pengelolaan air berkelanjutan dan ketahanan terhadap bencana,” kata Brocca. Sumber: Space.com