Planet Kembaran Bumi, Trappist-1e sedang Kehilangan Atmosfernya
ANTARIKSA -- Para ilmuwan telah menemukan sebuah planet yang berpotensi layak huni mengalami pengikisan atmosfer, sebuah proses yang pada akhirnya dapat membuat dunia, Trappist-1e, tidak ramah terhadap kehidupan. Pengupasan atmosfer tersebut tampaknya disebabkan oleh arus listrik yang tercipta saat planet bergerak mengelilingi bintang katai merah induknya.
Ini adalah penemuan yang signifikan karena sistem Trappist-1 yang terletak hanya 40 tahun cahaya dari Bumi, telah menjadi salah satu target utama perburuan kehidupan di luar angkasa. Dari tujuh dunia berbatu mirip Bumi dalam sistem itu, setidaknya 3 di antaranya terletak di zona layak huni, yaitu wilayah di sekitar bintang yang tepat untuk keberadaan air dalam bentuk cair.
Namun, sebuah planet tanpa atmosfer tidak akan bisa menampung air dalam bentuk cair, meskipun ia berada di zona layak huni, yang juga dikenal sebagai zona Goldilocks. Hal ini menunjukkan, meskipun Trappist-1e berada di zona layak huni bintang Trappist-1, kelayakhuniannya mungkin akan cepat berlalu.
Fenomena yang mempengaruhi atmosfer Trappist-1e juga bisa berdampak pada atmosfer planet lain di zona layak huni tersebut. Itu merupakan kabar buruk bagi kemungkinan ditemukannya kehidupan di sistem tersebut.
Baca Juga: TRAPPIST-1, Tata Surya Lain dengan 7 Planet Kembaran Bumi
Cara Atmosfer Berpisah dari Planet
Trappist-1e kira-kira seukuran Bumi, namun memiliki massa sekitar 0,7 kali massa planet kita. Ini adalah planet keempat dari bintangnya, yang mengorbit hanya 0,028 kali jarak antara Bumi dan matahari, menyelesaikan satu orbit hanya dalam 6,1 hari Bumi.
Meski begitu, karena bintang Trappist-1 jauh lebih kecil dan lebih dingin dibandingkan Matahari, zona layak huninya jauh lebih dekat ke permukaannya jika dibandingkan dengan zona layak huni bintang kita. Karena itu, bukan radiasi dari katai merah itu yang mengikis atmosfer Trappist-1e, melainkan angin partikel bermuatan yang dihembuskan dari bintang tersebut.
Anggota tim peneliti dan ahli astrofisika di Harvard & Smithsonian,
Cecilia Garraffo mengatakan, pihaknya mengamati bagaimana cuaca luar angkasa planet itu berubah melalui orbitnya. Tansisi Trappist-1e yang sangat cepat antara kondisi dan tekanan angin bintang yang sangat berbeda mengarah pada semacam kompresi dan relaksasi medan magnet planet.
"Hal itu mendorong arus listrik yang kuat di lapisan atas atmosfer, ionosfer yang memanaskan atmosfer seperti pemanas listrik,” kata Garraffo kepada Space.com.
Garraffo menjelaskan, Bumi juga mengalami variasi angin matahari yang menyebabkan pemanasan serupa di atmosfer kita. Perbedaannya adalah pemanasan yang dirasakan Trappist-1e 100.000 kali lebih kuat dibandingkan yang dialami Bumi akibat angin matahari.
Baca Juga: Teleskop Webb Mengungkap Misteri Planet Paling Mirip Bumi, TRAPPIST-1b
Hal ini terjadi karena Trappist-1e bergerak cepat di sekitar bintangnya, dan gerakan tersebut mendorong arus ionosfer kuat yang kemudian menghilang dan menciptakan pemanasan ekstrem. Tim peneliti menyebutnya sebagai pemanasan Joule yang digerakkan oleh tegangan.
Meskipun tim telah memperkirakan efek ini pada tahun 2017, mereka terkejut dengan betapa dahsyatnya dampak yang mereka temukan saat ini. “Kekuatan Trappist-1e bisa sangat kuat sehingga panasnya menguapkan atmosfer bagian atas. Selama jutaan tahun, planet ini bisa kehilangan seluruh atmosfernya karena fenomena ini,” kata Garraffo.
Penelitian tim menunjukkan ada lebih dari beberapa cara bagi sebuah planet untuk kehilangan atmosfernya. Anggota tim dan peneliti Lowell Center for Space Science & Technology, Ofer Cohen mengatakan, biasanya, hilangnya atmosfer planet ekstrasurya didorong oleh beberapa proses eksternal.
Hal itu termasuk radiasi kuat dari bintang, yang dapat menyebabkan atmosfer memanas dan lepas, atau partikel bermuatan dalam angin bintang yang menghempaskan planet, sehingga menyebabkan efek pengupasan yang kuat. “Dalam kasus Trappist-1e ini, pemanasan atmosfer, dan hilangnya atmosfer sebagai akibatnya, hanya didorong oleh pergerakan planet yang cepat. Jadi, planet ini akan kehilangan atmosfernya hanya dengan bergerak,” kata Cohen.
Ia menganalogikan proses itu seperti salju di atap mobil yang hilang oleh udara yang bergerak ketika mobil melaju. "Setidaknya itulah yang terjadi," katanya. Sumber: Space.com