Pertama Kali, Astronom Amati Sabuk Radiasi di Luar Tata Surya
ANTARIKSA -- Untuk pertama kalinya, para astronom mengamati sabuk radiasi di luar Tata Surya. Sabuk radiasi itu teramati di sekitar bintang kerdil ultradingin yang berjarak 18 tahun cahaya dari Bumi.
Sabuk radiasi itu mencitrakan partikel berenergi tinggi yang terperangkap oleh medan magnet di sekitar bintang kerdil yang sangat dingin tersebut.
Sabuk radiasi yang baru ditemukan itu bercuping ganda. Ini persis seperti sabuk radiasi yang mengelilingi planet Jupiter. Namun, jika sabuk radiasi bintang kerdil ditempatkan di sebelah Jupiter, sabuk radiasi tersebut akan menjadi 10 juta kali lebih terang.
Radiasinya berupa pancaran radio yang terus-menerus dan intens. Pencitraan mengungkapkan adanya awan elektron berenergi tinggi yang terperangkap di medan magnet bintang kerdil, yang dikenal sebagai LSR J1835+3259.
Penulis utama penelitian Melodie Kao mengatakan pemdandangan ini tidak pernah terlihat sebelumnya.
Gambar tersebut ditangkap oleh tim menggunakan jaringan 39 teleskop radio, yang digabungkan menjadi satu teleskop virtual yang disebut High Sensitivity Array.
LSR J1835+3259 adalah satu-satunya objek di luar tata surya yang diyakini Kao dapat diamati dengan detail yang cukup untuk memecahkan sabuk radiasinya.
Pengamatan baru dapat membantu para astronom menemukan garis pemisah antara bintang kecil dan planet besar. Sebab, bintang kerdil memiliki massa di antara bintang bermassa rendah dan katai coklat (objek yang sering disebut sebagai bintang gagal) karena kekurangan massa yang diperlukan untuk memulai fusi nuklir pada intinya.
"Meskipun pembentukan bintang dan planet bisa berbeda, fisika di dalamnya bisa sangat mirip di bagian kontinum massa yang menghubungkan bintang bermassa rendah dengan katai coklat dan planet gas raksasa," kata Kao, dilansir dari Space.com.
Apa itu medan magnet?
Medan magnet yang kuat membentuk gelembung magnet di sekitar planet yang disebut magnetosfer. Banyak planet di tata surya memiliki magnetosfer.
Matahari juga memiliki magnetosfer. Bahkan satu bulan milik Jupiter yakni Ganymede memiliki magnetosfer.
Namun, magnetosfer memiliki kekuatan dan karakteristik yang berbeda. Misalnya, magnetosfer Merkurius, planet terdekat dengan matahari, hanya memiliki sekitar 1 persen kekuatan gelembung magnet Bumi.
Di Bumi, magnetosfer cukup kuat untuk melindungi atmosfer dan kehidupan planet dari partikel bermuatan energi tinggi dari matahari.
Semua planet di tata surya dengan medan magnet juga memiliki sabuk radiasi yang terdiri dari partikel bermuatan energi tinggi yang terperangkap di sekelilingnya.
Sementara sabuk radiasi Bumi, yang dikenal sebagai Sabuk Van Allen, adalah pita partikel berenergi tinggi berbentuk donat dari angin matahari.
Di Jupiter, sebagian besar partikel yang terperangkap oleh medan magnet di sekitar planet menciptakan sabuk radiasi berbentuk lobus ganda berasal dari vulkaniknya.
Terlepas dari asalnya, partikel yang terperangkap ini dibelokkan oleh medan magnet ke arah kutub planet, menghasilkan aurora. Di Bumi, ada bentuk cahaya utara dan selatan, atau aurora borealis dan aurora australis. Aurora dapat digunakan untuk mengukur kekuatan magnetosfer.
Gambar LSR J1835+3259 yang diambil oleh Kao dan timnya juga menandai pertama kalinya ilmuwan membedakan objek dan sabuk radiasinya di luar tata surya. Temuan ini dapat membantu menentukan kekuatan medan magnet bintang kerdil lainnya, sesuatu yang sebagian besar tidak diketahui saat ini.
Lantaran magnetosfer Bumi sangat penting dalam melindungi kehidupan di planet kita, para ilmuwan berteori bahwa medan magnet di sekitar planet ekstrasurya mungkin menjadi kunci untuk memahami kelayakhunian dunia di luar tata surya.
"Ini adalah langkah pertama yang penting dalam menemukan lebih banyak objek seperti itu dan mengasah keterampilan kita untuk mencari magnetosfer yang lebih kecil dan lebih kecil, yang pada akhirnya memungkinkan kita untuk mempelajari planet-planet seukuran Bumi yang berpotensi layak huni," rekan penulis penelitian Evgenya Shkolnik, seorang astrofisika. profesor di Arizona State University, mengatakan dalam pernyataan yang sama.
Penelitian ini dipublikasikan pada Senin (15/5/2022) di jurnal Nature.