Mengapa AS, China, Rusia hingga India Berlomba ke Kutub Selatan Bulan? Masa Depan Ada di Sana
ANTARIKSA -- Saat turun ke permukaan bulan pada tanggal 20 Juli 1969, astronot Apollo 11, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin berjuang dengan alarm komputer yang kepayahan dan komunikasi yang tidak lancar dengan kendali misi di Houston. Para pengontrol di Bumi dengan panik membalik-balik catatan untuk mengidentifikasi kode kesalahan.
Setelah melewati 13 menit yang menegangkan dan melampaui lokasi pendaratan sejauh 6 kilometer, para kru berhasil mendarat tanpa cedera di dekat ekuator bulan. Sisa bahan bakar saat itu hanya tinggal 15 detik. Namun, mereka mengirimkan pesan yang sangat ditunggu-tunggu di bumi melalui radio: "Elang telah mendarat."
Antara tahun 1969 dan 1972, AS mendaratkan 12 astronot di bulan sebagai bagian dari program Apollo. Program ini dibentuk terutama untuk mengalahkan Uni Soviet dalam persaingan ke bulan di tengah panasnya Perang Dingin. Kini, lebih dari 50 tahun setelah manusia pertama mendarat di bulan, minat untuk mengunjungi satelit alami Bumi itu kembali meningkat.
Kali ini, negara-negara penjelajah antariksa mengincar kutub selatan bulan, yang telah menjadi hotspot untuk eksplorasi ruang angkasa jangka pendek dan jangka panjang.
Namun, mengapa fokus di kutub selatan selatan bulan?
Ternyata, hal itu terkait dengan kekayaan yang ada di sana. Para ilmuwan berpendapat, wilayah kutub selatan bulan yang gelap secara permanen menampung banyak cadangan air beku yang dapat ditambang untuk mendukung kehidupan dan bahan bakar roket. Tentu saja, keberadaan harta karun itu baru spekulasi karena belum ada yang memeriksanya.
"Dan itulah mengapa penting untuk memeriksanya. Baru-baru ini, banyak negara telah mencoba melakukan hal tersebut," kata Martin Barstow, seorang profesor astrofisika dan ilmu luar angkasa di Universitas Leicester Inggris kepada Live Science.
Baca Juga: Jepang Membawa Bola 'Transformer' ke Bulan, Simak Video Kecanggihannya
Berlomba ke Selatan Bulan
Pesawat luar angkasa Luna 25 milik Rusia berusaha mendarat di dekat kutub selatan pada 19 Agustus 2023, tetapi gagal dan jatuh. Pesawat itu menciptakan kawah 10 meter di wilayah tenggara bulan.
Keberhasilan dalam upaya pendaratan di bulan terjadi pada 23 Agustus 2023, ketika India menjadi negara pertama yang mendarat di dekat kutub selatan bulan dengan misi Chandrayaan-3. Di sana, dua robot pendarat dan penjelajah India menghabiskan satu hari (14 hari bumi) di bulan menjelajahi wilayah terdekat.
Para penjelajah bertenaga surya tersebut mengkonfirmasi keberadaan belerang, bahan pembangun infrastruktur yang dapat menjadi kunci bagi kamp-kamp manusia di masa depan. Mereka juga mengukur suhu bulan dan kemungkinan besar mendeteksi gempa bulan. Pada awal September, tim misi mengalihkan keduanya ke mode tidur, dengan harapan baterai yang terisi penuh akan melewati malam yang pahit, lalu bangun saat matahari kembali terbit.
Pada tahun 2026, China berencana mengirim pesawat ruang angkasa Chang'e-7 dalam upaya ambisius ke kutub selatan bulan. Menurut rencana misi, pesawat ruang angkasa tersebut akan terdiri dari pengorbit, pendarat, penjelajah, dan wahana terbang kecil yang akan memburu air es di daerah yang gelap.
Sementara itu, akhir dekade ini, program Artemis NASA bertujuan mendaratkan manusia di dekat kutub selatan bulan untuk misi selama sepekan. Penjelajah dari Australia akan menjadi salah satu pendukung misi tersebut.
Baca Juga: Robot India Temukan Belerang di Dekat Kutub Selatan Bulan
Membangun kehidupan di bulan?
Bagi banyak negara yang terlibat dalam perlombaan antariksa baru, tujuannya bukan hanya mengunjungi kutub selatan bulan, tetapi untuk membangun kehidupan permanen di sana. “Dengan kemajuan teknologi selama 50 tahun, siapa pun dapat pergi ke bulan. Kali ini, untuk tinggal,” kata Jack Burns, direktur Jaringan Eksplorasi dan Ilmu Luar Angkasa yang didanai NASA di Universitas Colorado, Boulder kepada Live Science.
Program Artemis NASA, misalnya, bertujuan membangun kabin di bulan agar para astronot dapat tinggal dan bekerja selama dua bulan. Mereka akan mengasah teknologi dengan menggunakan sumber daya yang ada di bulan, seperti air es untuk menunjang kehidupan dan menghasilkan bahan bakar roket.
“Ide manufaktur di luar angkasa sangat menarik bagi banyak orang, namun belum ada yang benar-benar melakukannya,” kata Barstow.
"Saya pikir, itulah posisi kita saat ini. Kita semua tahu apa yang ingin kita lakukan. Kita bahkan bisa membayangkan bagaimana kita bisa melakukannya. Tapi kita harus melakukan uji teknis pertama dan melihat apakah kita benar-benar bisa melakukannya."
Baca Juga: Robot China Petakan 'Struktur' Tersembunyi di Sisi Gelap Bulan
Misi luar angkasa di masa depan harus mengusung bahan bangunan yang ringan dan cukup kuat untuk menopang muatan peluncuran. Barstow mengaku mereka
belum memiliki fasilitas untuk menghadirkan bahan yang dimaksud.
Meskipun mencapai kutub selatan bulan lebih menantang daripada jalur langsung menuju ekuatornya, para ilmuwan sudah memiliki teknologi untuk melakukannya. Misalnya, mendarat di kutub selatan bulan harus dengan pendaratan terkendali dengan tenaga roket. “Prinsip-prinsipnya cukup jelas,” kata Barstow. Tantangan yang lebih mendesak adalah menentukan cara mendarat dengan aman.
Para ilmuwan yakin, pada akhirnya, upaya untuk membangun keberadaan yang berkelanjutan di bulan juga akan menjadi batu loncatan untuk mencapai Mars. Barstow mengatakan,
meskipun pihaknya mungkin memiliki teknologi untuk mengirim manusia mengunjungi Planet Merah, biaya yang harus dikeluarkan sangatlah tinggi.
"Tidak ada pemerintah yang berminat untuk menginvestasikan uang sebanyak yang dibutuhkan (ke Mars) saat ini,” kata dia.
Logistik dan biaya manusia dalam membangun koloni Mars juga merupakan pertanyaan terbuka yang memerlukan penelitian ekstensif. Dengan dimulainya perlombaan kembali ke bulan, mungkin masih perlu beberapa dekade untuk mendarat di Mars. Sumber: Live Science