Seperti Apa Gelombang Gravitasi Saat Big Bang? Teleskop Ini akan Mengungkapnya
ANTARIKSA -- Para astronom terus mendobrak batas-batas astronomi. Saat ini, observatorium seperti James Webb Space Telescope (JWST) sedang memvisualisasikan bintang dan galaksi paling awal di Alam Semesta, yang terbentuk selama periode Abad Kegelapan Kosmik.
Abad Kegelapan Kosmik sebelumnya tidak dapat diakses oleh teleskop karena Alam Semesta dipenuhi oleh awan hidrogen netral. Satu-satunya cahaya yang terlihat saat ini adalah radiasi peninggalan Big Bang, Cosmic Microwave Background (CMB), atau sebagai garis spektrum 21 cm yang tercipta dari reionisasi hidrogen alias Garis Hidrogen.
Kini setelah tabir Abad Kegelapan perlahan-lahan disingkapkan, para ilmuwan memikirkan terobosan berikutnya dalam astronomi dan kosmologi. Mereka ingin melihat gelombang gravitasi primitif yang diciptakan oleh Big Bang.
Baru-baru ini, National Science Foundation (NSF) telah memberikan 3,7 juta dolar AS kepada Universitas Chicago, sebagai bagian pertama hibah sebesar 21,4 juta dolar AS. Hibah itu untuk mendanai pengembangan teleskop generasi berikutnya yang akan memetakan CMB dan gelombang gravitasi yang tercipta sesaat setelah Big Bang.
Baca Juga: Tiba di L2, Teleskop Webb Siap Mengintip Titik Awal Big Bang
Gelombang gravitasi atau Gravitational waves (GW), yang awalnya diprediksi oleh Teori Relativitas Umum Einstein, adalah riak di ruang-waktu karena penggabungan benda-benda masif seperti lubang hitam dan bintang neutron. Para ilmuwan juga berteori ada GW yang terbentuk selama Big Bang dan masih bisa terlihat hingga saat ini dalam getaran latar belakang.
Bekerja sama dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), peneliti dari proyek CMB-S4 Universitas Chicago berupaya membangun teleskop dan infrastruktur di Antartika dan Chili untuk mencari gelombang tersebut.
Kolaborasi tersebut telah melibatkan 450 ilmuwan dari lebih dari 100 institusi di 20 negara.
Keseluruhan proyek akan didanai bersama oleh NSF dan Departemen Energi AS (DoE). Porsinya, dana NSF akan dipimpin oleh University of Chicago, sedangkan Lawrence Berkeley National Laboratory akan memimpin porsi dana DoE. Proyek ini diperkirakan menelan biaya total sekitar 800 juta dolar AS dan mulai beroperasi pada awal tahun 2030-an.
Sebagai perbandingan, teleskop luar angkasa James Webb menghabiskan dana sekitar 10 miliar dolar AS. Angka itu masuk akal mengingat basis pemantauannya di orbit stabil sejauh 93 juta kilometer, antara matahari dan bumi.
Selain mencari GW purba, teleskop baru juga bisa memetakan CMB dengan sangat detail dan mengungkap bagaimana alam semesta berubah seiring waktu. Kemudian, membantu mencari Alam Semesta Gelap yang sulit dipahami dan memvalidasi model kosmologis saat ini.
“Dengan teleskop ini, kami tidak hanya akan menguji teori tentang bagaimana seluruh alam semesta terbentuk, tetapi juga melihat fisika pada skala paling ekstrem yang tidak dapat dilakukan dengan eksperimen fisika partikel di Bumi,” kata Profesor Astronomi dan Astrofisika di UChicago dan ilmuwan proyek untuk CMB-S4, John Carlstrom seperti dilansir Universe Today, akhir bulan lalu.
Karena CMB membawa informasi tentang kelahiran alam semesta, para ilmuwan telah memetakannya selama beberapa dekade. Itu termasuk teleskop berbasis ruang angkasa seperti RELIKT-1 Soviet, Cosmic Background Explorer (COBE) NASA, Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP), dan satelit Planck milik Badan Antariksa Eropa (ESA). Sejumlah misi itu telah mengukur anisotropi suhu kecil (fluktuasi) di CMB dengan semakin detail sehingga memberikan petunjuk bagaimana alam semesta dimulai.
Namun yang dibutuhkan adalah teleskop yang cukup sensitif untuk menjawab pertanyaan kosmologis yang lebih dalam, seperti apakah alam semesta ketika dimulai dengan ledakan inflasi. Untuk mencapai tujuan ini, CMB-S4 akan membangun instrumen yang sangat kompleks untuk memetakan cahaya pertama alam semesta dari darat dan pesawat ruang angkasa.
Rangkaian tersebut akan mencakup dua teleskop baru di Dataran Tinggi Atacama Chili dan sembilan teleskop kecil di Stasiun Kutub Selatan (SPS) NSF. Proyek ini juga akan mengandalkan Teleskop Kutub Selatan, yang telah beroperasi di SPS sejak tahun 2007.
Setiap lokasi akan memainkan peran penting. Teleskop di Chili melakukan survei luas di langit untuk menangkap gambaran CMB yang lebih detail. Sementara itu, teleskop di Stasiun Kutub Selatan NSF akan mengamati bagian langit yang lebih kecil secara mendalam dan terus menerus.
Baca Juga: Pembentukan Alam Semesta 1: Big Bang dan Era Kegelapan
Pengamatan dari Chili akan meningkatkan pemahaman tentang evolusi dan distribusi materi serta mencari kemungkinan partikel cahaya peninggalan alam semesta awal. Sementara itu, teleskop di Antartika bisa mengamati terus menerus pada satu bagian langit karena di situlah seluruh bumi berputar.
Upaya gabungan teleskop tersebut akan memungkinkan para astronom mencari riak di ruang-waktu. Itu hanya bisa muncul di ruang kecil, dari partikel subatom yang tiba-tiba mengembang menjadi volume yang jauh lebih besar.
Fisikawan Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley dan Direktur proyek CMB-S4, Jim Strait mengatakan, proyek tersebut memang ambisius, namun bermanfaat. “Dalam banyak hal, teori inflasi terlihat bagus, namun sebagian besar bukti eksperimental bersifat tidak langsung,” katanya.
“Menemukan gelombang gravitasi primordial akan menjadi apa yang disebut sebagai 'senjata api' untuk inflasi.”
Karena iak-riak itu akan berinteraksi dengan CMB dan meninggalkan tanda yang berbeda dan samar, pemetaan CMB dalam skala besar dan terus menerus akan memberikan indikasi keberadaannya. CMB-S4 juga harus memberikan petunjuk tentang sifat Materi Gelap dan Energi Gelap. Kedua Gelap yang misterius itu adalah yang paling diburu astronom hingga saat ini.
Materi Gelap diteorikan menyumbang sebagian besar massa di Alam Semesta, sekitar 69 persen. Sementara Energi Gelap bertanggung jawab atas percepatan laju mengembang alam semesta.
Baca Juga: Mengenal Teleskop Roman, Si Pemburu Materi Gelap di Alam Semesta
Selain itu, memetakan gelombang gravitasi purba juga akan membantu para ilmuwan menemukan hubungan antara gaya gravitasi dan mekanika kuantum. Detektor gelombang mikro terlalu sensitif sehingga pengukurannya didominasi oleh kebisingan latar belakang dan interferensi lokal.
Karena itu, eksperimen CMB-S4 akan digabungkan dengan hampir 500.000 detektor superkonduktor. Hal itu tidak hanya akan meningkatkan jumlah pengukuran secara signifikan, melainkan juga tingkat sinyal yang tepat dan mengurangi kebisingan. Sumber: Universe Today