Raksasa Pembentuk Bulan, Theia Diduga Masih Ada dalam Mantel Bumi
ANTARIKSA -- Sebuah tim peneliti internasional interdisipliner baru-baru ini menemukan anomali besar jauh di dalam interior bumi. Diduga, hal itu disebabkan oleh sisa benda yang menabrak bumi sekitar 4,5 miliar tahun lalu, dan membentuk bulan.
Penelitian itu menawarkan wawasan baru yang penting. Tidak hanya mengenai struktur internal bumi, tetapi juga evolusi jangka panjang dan pembentukan tata surya bagian dalam.
Penelitian tersebut mengandalkan metode komputasi dinamika fluida yang dipelopori Prof Deng Hongping dari Shanghai Astronomical Observatory (SHAO) dari Chinese Academy of Sciences. Makalahnya diterbitkan sebagai sampul utama di jurnal Nature hari ini, Kamis, 2 November 2023.
Pembentukan bulan masih menjadi teka-teki selama beberapa generasi ilmuwan. Teori yang kini berlaku menyatakan, pada tahap akhir pertumbuhan Bumi sekitar 4,5 miliar tahun lalu, tabrakan besar yang disebut "benturan raksasa" terjadi antara Bumi purba (Gaia) dan protoplanet seukuran Mars yang bernama Theia. Bulan kita diyakini terbentuk dari puing-puing akibat tabrakan tersebut.
Baca Juga: Asal Usul Bulan, Tulang Rusuk Bumi yang Patah
Simulasi numerik menunjukkan bulan kemungkinan besar mewarisi materi yang mayoritas dari Theia. Sedangkan Gaia, karena massanya yang jauh lebih besar, hanya sedikit terkontaminasi oleh materi Theian.
Karena Gaia dan Theia merupakan formasi yang relatif independen dan terdiri dari material yang berbeda, teori tersebut menyatakan; bulan didominasi oleh material Theian dan Bumi didominasi oleh material Gaian.
Artinya, bumi dan bulan harus memiliki komposisi yang berbeda.
Namun, pengukuran isotop berpresisi tinggi kemudian mengungkapkan, komposisi bumi dan bulan sangat mirip. Fakta itu menantang teori konvensional tentang pembentukan bulan. Meskipun berbagai model dampak raksasa yang disempurnakan diusulkan, semuanya tetap menghadapi tantangannya tersendiri.
Untuk lebih menyempurnakan teori pembentukan bulan, Prof Deng mulai meneliti tentang pembentukan bulan pada tahun 2017. Ia fokus pada pengembangan metode komputasi dinamika fluida baru yang disebut Meshless Finite Mass (MFM). Metode tersebut diklaim unggul dalam pemodelan turbulensi dan pencampuran material secara akurat.
Dengan melakukan banyak simulasi dampak raksasa, Prof Deng menemukan bumi muda menunjukkan stratifikasi mantel setelah dampak tersebut. Mantel atas dan bawah memiliki komposisi dan keadaan yang berbeda. Namun secara khusus, mantel atas menampilkan lautan magma dari pencampuran material Gaia dan Theia. Sedangkan mantel bawah sebagian besar tetap padat dan mempertahankan komposisi material Gaia.
“Penelitian sebelumnya telah memberikan penekanan berlebihan pada struktur piringan puing-puing (pendahulu Bulan) dan mengabaikan dampak tabrakan raksasa di awal Bumi,” kata Deng.
Baca Juga: Pesawat dan Robot India di Bulan Kini Menghadapi Serangan Antariksa
Setelah berdiskusi dengan ahli geofisika dari Institut Teknologi Federal Swiss di Zurich, Prof Deng dan kolaborator menyadari stratifikasi mantel itu mungkin masih bertahan hingga saat ini. Hal itu sesuai dengan reflektor seismik global di bagian tengah mantel, terletak sekitar 1.000 km di bawah permukaan bumi.
Menurut penelitian Prof Deng, seluruh mantel bawah Bumi diduga masih didominasi oleh material Gaian pra-benturan. Mereka memiliki komposisi unsur berbeda, termasuk kandungan silikon lebih tinggi dibandingkan mantel atas.
“Temuan kami menantang anggapan lama bahwa dampak raksasa menyebabkan homogenisasi awal bumi. Sebaliknya, dampak raksasa pembentuk bulan tampaknya menjadi asal mula heterogenitas mantel awal dan menandai titik awal evolusi geologi bumi selama 4,5 miliar tahun,”
kata Prof Deng.
Contoh lain dari heterogenitas mantel bumi adalah dua wilayah anomali yang disebut Provinsi Kecepatan Rendah Besar (LLVP), yang membentang ribuan kilometer di dasar mantel. Satu terletak di bawah lempeng tektonik Afrika dan satu lainnya di bawah lempeng tektonik Pasifik. Ketika gelombang seismik melewati daerah ini, kecepatan gelombang berkurang secara signifikan.
LLVP mempunyai implikasi signifikan terhadap evolusi mantel, pemisahan dan agregasi benua super, dan struktur lempeng tektonik bumi. Namun, asal usul mereka masih menjadi misteri.
Yuan Qian dari California Institute of Technology, bersama dengan kolaboratornya, mengusulkan LLVP kemungkinan berevolusi dari sejumlah kecil material Theian yang memasuki mantel bawah Gaia. Mereka kemudian mengundang Prof Deng untuk mengeksplorasi distribusi dan keadaan material Theian di kedalaman Bumi setelah dampak raksasa tersebut.
Melalui analisis mendalam sebelumnya terhadap simulasi dampak raksasa, dan dielaborasi dengan data simulasi baru dengan presisi lebih tinggi, tim peneliti menemukan sejumlah besar material mantel Theian, yaitu sekitar 2 persen dari massa bumi.
Baca Juga: Mengapa Sisi Lain Bulan tak Pernah Menghadap Bumi?
Prof Deng kemudian mengundang ahli astrofisika komputasi, Dr Jacob Kegerreis untuk mengkonfirmasi kesimpulan tersebut menggunakan metode tradisional Smoothed Particle Hydrodynamics (SPH). Tim peneliti juga menghitung material mantel Theian yang diperkaya dengan zat besi sehingga membuatnya lebih padat dibandingkan material Gaian di sekitarnya.
Akibatnya, ia dengan cepat tenggelam ke dasar mantel, dan selama konveksi mantel jangka panjang, membentuk dua wilayah LLVP yang menonjol. LLVP itu tetap stabil selama 4,5 miliar tahun evolusi geologis.
Heterogenitas di mantel dalam, baik di reflektor mantel tengah atau LLVP di dasar, menunjukkan interior bumi jauh dari sistem yang seragam. Faktanya, sejumlah kecil heterogenitas yang mendalam bisa dibawa ke permukaan oleh bulu mantel, arus panas naik berbentuk silinder yang disebabkan oleh konveksi mantel. Proses itu serupa dengan yang membentuk Hawaii dan Islandia.
Menurut Dr Yuan, melalui analisis yang tepat terhadap sampel batuan yang beragam, dikombinasikan dengan model tumbukan raksasa dan model evolusi Bumi, ilmuwan bisa menyimpulkan komposisi material dan dinamika orbit Bumi purba, Gaia, dan Theia. Itu, kata dia, memungkinkan mereka membatasi seluruh sejarah pembentukan tata surya bagian dalam.
Prof Deng melihat peran yang lebih luas dalam penelitian ini. “Penelitian ini bahkan memberikan inspirasi untuk memahami pembentukan dan kelayakhunian exoplanet di luar tata surya kita.” Sumber: Phys.org