Sains Buktikan Orang Mati Diperlihatkan Seluruh Amalannya
ANTARIKSA -- Para ilmuwan baru saja dikejutkan dengan penemuan baru tentang pertanyaan sains sepanjang masa; apa yang dialami manusia ketika meninggal dunia? Penelitian terbaru akhirnya menjawab pertanyaan itu berdasarkan ilmu pengetahuan, yaitu seluruh pengalaman hidup seseorang yang meninggal muncul secara utuh.
"Banyak dari kelompok terakhir (peserta yang sempat mati suri) tersebut menggambarkan peristiwa yang mereka hadapi adalah semacam 'evaluasi moral' atas seluruh hidup mereka dan cara mereka berperilaku (amal baik dan buruk),” kata penulis utama penelitian tersebut, Sam Parnia, profesor kedokteran di NYU Langone Healthn kepada Live Science. Temuan baru itu telah dipublikasikan di jurnal Resuscitation pada 14 September 2023.
Dalam Islam, Allah SWT telah mengabarkan hal tersebut dalam sejumlah ayat Alquran. Berikut adalah beberapa contohnya.
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. al-Jumu’ah, 62:8)
"Katakanlah: "Bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. at-Taubah ayat 105).
Penelitian terbaru dari para ilmuwan sebenarnya untuk menemukan jawaban lain dari apa yang telah dijelaskan oleh para ulama dan teks-teks agama, serta mitos yang berkembang di masyarakat. Ilmuwan ingin mendapat jawaban di sisi sains, yang bisa mereka buktikan secara empiris.
Tentu saja, penelitian empiris tentang pengalaman kematian sangatlah sulit karena tak mungkin menanyakannya kepada almarhum. Kematian adalah ketika jantung kita berhenti berdetak dan semua aktivitas listrik di otak kita padam. Untuk memudahkan penelitiannya, para ilmuwan memantau otak orang-orang yang berada dalam pergolakan kematian, yaitu orang-orang yang gagal jantung di rumah sakit.
Menurut temuan tersebut, otak beberapa pasien serangan jantung yang sempat datar di layar monitor, mengalami aktivitas yang sibuk selama tindakan CPR (pertolongan pertama pada seorang pasien henti jantung), meskipun jantung mereka berhenti berdetak bahkan hingga satu jam. Sebagian peserta yang selamat atau kembali dari 'kematian', mampu mengingat apa yang mereka alami dalam proses tersebut.
Parnialebih suka menyebut hasil penelitian itu sebagai 'Pengalaman kematian yang diingat', daripada istilah 'pengalaman mendekati kematian'. Alasannya, keakuratannya telah dilaporkan di berbagai budaya sepanjang sejarah. Beberapa ilmuwan Barat sebelumnya menganggap cerita-cerita tentang kematian suri hanyalah halusinasi atau mimpi.
"Para peneliti menafsirkan rekaman otak yang mereka buat dari pasien-pasien ini sebagai penanda 'pengalaman kematian yang jelas dan dapat diingat', sebuah pengamatan yang belum pernah mungkin terjadi sebelumnya,” kata Sam Parnia. Kami juga, kata dia, mampu mengemukakan penjelasan yang koheren dan mekanistik mengapa hal ini terjadi.
Dalam studi baru tersebut, Parnia dan rekan-rekannya berusaha menemukan tanda biologis dari pengalaman kematian yang diingat. Mereka bekerja sama dengan 25 rumah sakit, terutama di AS dan Inggris. Petugas medis menggunakan perangkat portabel yang diletakkan di kepala pasien yang mengalami keadaan darurat jantung untuk mengukur kadar oksigen dan aktivitas listrik di otak tanpa mengganggu perawatan medis.
Para peneliti juga menguji persepsi sadar dan tidak sadar dengan memasang headphone pada pasien. Perangkat itu memutar rekaman berulang-ulang nama tiga buah, yaitu pisang, pir, dan apel.
Antara Mei 2017 dan Maret 2020, 567 orang mengalami serangan jantung di rumah sakit yang bekerja sama dengan penelitian tersebut. Staf medis berhasil mengumpulkan data oksigen dan aktivitas otak yang dapat digunakan dari 53 pasien.
Dari total 567 pasien, hanya 53 orang yang selamat dari kematin. Para peneliti mewawancarai 28 orang di antaranya. Mereka juga mewawancarai 126 orang dari komunitas yang pernah mengalami serangan jantung karena jumlah sampel yang selamat dari penelitian baru sangat kecil.
Sebanyak 40 persen dari mereka melaporkan adanya kesadaran akan peristiwa yang mereka alami. Sementara, sebanyak 20 persen memiliki pengalaman selama 'kematian' singkat. Mereka mengaku mengalami semacam 'evaluasi moral' atas seluruh hidup dan perilaku mereka. Mereka yang mengalami peristiwa kematian itu juga tidak menerima informasi lain saat CPR. Penjelasan ilmiahnya ada di halaman selanjutnya...
Penjelasan Ilmiahnya
Parnia dan rekan-rekannya telah mengembangkan hipotesis kerja untuk menjelaskan temuan mereka. Biasanya, otak memiliki 'sistem pengereman' yang menyaring sebagian besar elemen fungsi otak dari pengalaman kesadaran kita. Hal ini memungkinkan orang beraktivitas secara efisien di dunia ini.
"Dalam keadaan biasa, Anda tidak dapat berfungsi (beraltivitas) jika ada akses ke seluruh aktivitas otak Anda yang berada di alam kesadaran," katanya.
Namun, pada otak yang sekarat, para peneliti berhipotesis bahwa sistem pengeremannya dihilangkan. Itu menjadikan bagian yang biasanya tidak aktif menjadi aktif, dan orang yang sekarat mendapatkan akses ke seluruh kesadarannya. "Semua pikiran Anda, semua ingatan Anda, semua yang telah disimpan sebelumnya," kata Parnia.
Kami, kata dia, tidak mengetahui manfaat evolusioner dari hal tersebut. "Namun, tampaknya hal itu mempersiapkan manusia untuk transisi dari kehidupan ke kematian."
Dokter unit perawatan intensif di Departemen Veteran Jennifer Moreno dari Affairs Medical Center di San Diego, California, Lakhmir Chawla mengatakan, penelitian baru tersebut mewakili upaya besar untuk memahami seobjektif mungkin sifat dan fungsi otak. "Yang mungkin bisa diterapkan pada kesadaran dan pengalaman mendekati kematian selama serangan jantung," kata dia. Chawla tidak terlibat dalam penelitian tersebut, namun telah menerbitkan makalah tentang lonjakan aktivitas EEG pada saat kematian pada beberapa pasien.
Meskipun hasil yang dilaporkan Parnia dan rekan-rekannya begitu mencengangkan dari sudut pandang ilmiah, Chawla menilai hasilnya harus dipublikasikan. “Saya percaya bahwa kita harus membiarkan data ini, juga memberikan informasi kepada umat manusia,” katanya. Sumber: Live Science/Kemenag/Republika.co.id