Mega-Tsunami Setinggi Gedung 30 Lantai Buktikan Bahaya Gunung Api Bawah Laut
ANTARIKSA -- Letusan gunung berapi bawah laut Tonga menyaingi kekuatan bom nuklir terbesar AS dan menghasilkan mega-tsunami hampir setinggi gedung pencakar langit 30 lantai. Hal itu terungkap dalam sebuah penelitian baru yang diterbitkan secara online di jurnal Science Advances pada 14 April 2023.
Pada 15 Januari 2022, gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha'apai, gunung besar berbentuk kerucut yang terletak di dekat pulau Kerajaan Tonga di Pasifik Selatan, meletus dengan ledakan dahsyat. Letusan tersebut menghasilkan gumpalan vulkanik tertinggi yang pernah tercatat, mencapai 35 mil atau 57 kilometer. Ledakan tersebut memicu tsunami sejauh Karibia, serta gelombang atmosfer yang menyebar ke seluruh dunia beberapa kali.
Untuk menentukan kekuatan letusan itu, para ilmuwan mengumpulkan gambar optik dan radar dari satelit, drone, dan pengamatan lapangan sebelum dan sesudah kejadian. Mereka kemudian membuat simulasi komputer dari gambar bencana tersebut.
Hasilnya, ledakan itu diduga sekuat 15 megaton (jutaan ton) TNT. Menurut Atomic Heritage Foundation, angka itu sekuat ledakan nuklir terbesar di Amerika Serikat, Castle Bravo pada tahun 1954. "Itu juga akan menjadikan letusan itu sebagai ledakan alami terbesar dalam lebih dari satu abad," kata penulis utama penelitian, Sam Purkis, profesor dan ketua Departemen Ilmu Geosains Kelautan, Sekolah Ilmu Kelautan dan Atmosfer Universitas Miami Rosenstiel.
Letusan itu setidaknya terjadi lima kali, menghasilkan tsunami setinggi 279 kaki atau 85 meter satu menit setelah ledakan terbesar. Hal itu menyebabkan gelombang setinggi 45 meter di pulau Tonga Tofua dan 17 meter di Tongatapu. "Data kami membuktikan bahwa gelombang yang dihasilkan oleh ledakan dengan nyaman menempatkan Hunga Tonga-Hunga Ha'apai di liga mega-tsunami," kata Purkis, yang juga kepala ilmuwan di Khaled bin Sultan Living Oceans Foundation di Annapolis, Maryland.
"Kami telah mengamati sebuah peristiwa yang sebelumnya hanya dikenali di zaman kuno secara real time menggunakan instrumentasi modern. Ini semua sangat menarik."
Hingga saat ini, luasnya letusan dan akibatnya masih sulit dipahami karena kelangkaan instrumen ilmiah di dekat lokasi letusan. “Tersembunyi dari pandangan biasa, gunung berapi bawah laut jauh lebih sulit dipantau daripada gunung berapi di darat,” kata Purkis.
Para ilmuwan menemukan, sifat kompleks dan dangkal dari medan bawah laut di kawasan itu membantu menjebak gelombang berkecepatan rendah dari letusan. Itu, pada gilirannya, membantu menghasilkan mega-tsunami yang berlangsung lebih dari satu jam.
"Kami menunjukkan bagaimana letusan gunung berapi bawah laut dapat menghasilkan tsunami besar. Serangkaian ledakan kecil menyambut datangnya ledakan besar, yang menghasilkan tsunami terbesar," kata Purkis.
Para ilmuwan mengatakan, kekuatan letusan tahun 2022 menyaingi letusan Krakatau tahun 1883 yang menewaskan lebih dari 36.000 orang. Letusan tahun 2022 hanya menewaskan sekitar enam orang.
Jumlah kematian yang rendah kemungkinan karena lokasi letusan yang relatif jauh dari pusat kota. Bisa jadi juga karena efektivitas latihan keselamatan dan upaya kesadaran yang dilakukan di Tonga pada tahun-tahun sebelum letusan. "Lokasi yang juga mungkin telah menyelamatkan Tonga dari nasib buruk," catat para ilmuwan.
Simulasi komputer juga mengungkapkan terumbu karang yang mengelilingi pulau Tonga membantu menekan gelombang yang akhirnya mencapai pantai. Temuan peneliti menunjukkan terumbu kemungkinan telah mengalami kerusakan besar saat itu. Namun, mereka bisa dengan cepat pulih dari kerusakan tersebut.
"Bukti arkeologi menunjukkan tsunami besar pada pertengahan abad ke-15 dengan ketinggian runup hingga 30 meter, ukurannya serupa dengan peristiwa tahun 2022. Namun, ketika saya mensurvei terumbu karang di kepulauan Tonga dengan Living Oceans Foundation pada 2013, kami menemukan terumbu karang itu sehat dan hidup. Kerusakan akibat peristiwa 500 tahun lalu telah terhapus," kata Purkis.
Menurut para ilmuwan, penelitian ke depan harus fokus pada cara terbaik menempatkan sensor untuk merekam data dari gunung berapi bawah laut. Kemudian, di garis pantai pulau-pulau yang rentan. "Sebagai cara yang efektif untuk mengawasi gunung berapi bawah laut," kata Purkis. Sumber: Live Science
Baca juga:
Ilmuwan Terperanjat, Satelit Temukan 19.000 Gunung Berapi Bawah Laut
ESA Ungkap Foto Satelit Letusan Gunung Anak Krakatau
Mengerikan, Letusan Gunung di Bulan Jupiter Memunculkan Aurora Raksasa
12 Obyek Paling Aneh di Alam Semesta: Sinyal Misterius Hingga Tembakan Infra Merah
Pembentukan Alam Semesta 1: Big Bang dan Era Kegelapan
Ikuti ulasan lainnya dari Antariksa dengan subscribe di sini.