Penemuan Batas Antariksa dan Bumi, Ternyata Banyak Astronot Gagal ke Luar Angkasa
ANTARIKSA -- Pada April 2009, para ilmuwan akhirnya menunjukkan apa yang disebut tepi antariksa, yaitu batas antara atmosfer bumi dan luar angkasa. Dengan data dari instrumen yang dikembangkan oleh para ilmuwan di University of Calgary, para ilmuwan memastikan ruang angkasa dimulai pada 73 mil (118 kilometer) di atas permukaan bumi.
Sebelumnya, banyak yang masih sangat kabur, karena batas antariksa dikelilingi oleh sejumlah kesalahpahaman dan definisi yang membingungkan karena saling bertentangan. Awalnya, astronot dapat mengatakan mereka pernah ke luar angkasa setelah melewati batas 50 mil (80 kilometer) dari atas permukaan bumi. Baca: Bukan dari NASA, Valentina Tereshkova Menjadi Perempuan Pertama yang Mengorbit Bumi.
Sementara itu, batas yang diakui oleh banyak orang di industri antariksa saat itu juga agak sewenang-wenang, yaitu 62 mil (100 kilometer). Ilmuwan Theodore von Karman telah lama menghitung bahwa pada ketinggian itu, atmosfer sangat tipis sehingga dapat diabaikan, dan pesawat konvensional tidak dapat lagi berfungsi karena tidak dapat melaju cukup cepat untuk mendapatkan gaya angkat aerodinamis apa pun. Batas 62 mil ini diterima oleh Federation Aeronautique Internationale (FAI), yang kemudian menetapkan standar penerbangan.
Menurut NASA, saat itu Amerika Serikat tidak pernah secara resmi mengadopsi standar batas yang ditetapkan karena itu akan memperumit masalah hak penerbangan satelit dan badan orbit lainnya. Kontrol misi NASA menggunakan 76 mil (122 kilometer) sebagai ketinggian masuk kembali ke bumi. Alasannya, di titik itulah pesawat ulang-alik beralih dari kemudi dengan pendorong ke manuver dengan permukaan udara.
Sementara ilmuwan dan badan antariksa lain menunjukkan bahwa tanda "Memasuki Luar Angkasa" harus dipasang pada jarak 13 juta mil (21 juta kilometer). Alasannya, itu adalah batas di mana gravitasi bumi tidak lagi dominan. Padahal, astronot mengalami keadaan tanpa bobot di luar angkasa bukan karena tidak adanya gravitasi di sana, melainkan karena keseimbangan gaya yang bekerja padanya saat mengorbit.
Dalam studi baru pada 2007-2009, instrumen yang disebut Supra-Thermal Ion Imager mendeteksi batas antariksa dengan melacak angin yang relatif lembut di atmosfer Bumi dan aliran partikel bermuatan yang lebih ganas di ruang angkasa, yang dapat mencapai kecepatan lebih dari 600 mph (1.000 kph). Kemampuan mengumpulkan data di wilayah tersebut sangat penting, namun sangat sulit melakukan pengukuran. Sebab, titik itu terlalu tinggi untuk balon dan terlalu rendah untuk satelit.
Instrumen Supra-Thermal Ion Imager dibawa oleh roket JOULE-II pada 19 Januari 2007. Roket tersebut terbang ke ketinggian sekitar 124 mil (200 kilometer) di atas permukaan laut. Ia mengumpulkan data selama lima menit saat bergerak melalui 'tepi luar angkasa'. Para ilmuwan kemudian menemukan batas antara Bumi dan Antariksa dimulai pada ketinggian 118 kilometer dari atas permukaan bumi. Baca: Mampukah Asteroid Menghancurkan Bumi?
Temuan yang dirinci dalam Journal of Geophysical Research pada 7 April 2009 itu, juga kemudian membantu penelitian tentang cuaca luar angkasa dan dampaknya terhadap Bumi. Data memungkinkan ilmuwan menghitung aliran energi ke atmosfer bumi yang pada akhirnya dapat membantu memahami interaksi antara ruang angkasa dan lingkungan di bumi.
"Itu bisa berarti pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara bintik matahari dan pemanasan dan pendinginan iklim Bumi serta bagaimana cuaca antariksa berdampak pada satelit, komunikasi, navigasi, dan sistem tenaga," kata ilmuwan proyek Supra-Thermal Ion Imager, David Knudsen dari University of Calgary kepada Space News saat itu. Baca: Badai Matahari Sangat Menghancurkan, Tetapi Bumi Selalu Melindungi Kita.