Sengketa Lahan di Bulan Semakin Menghawatirkan
ANTARIKSA -- Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA kini berusaha membuat beberapa hukum antariksa dengan Artemis Accords, sebuah perjanjian internasional yang dirancang untuk memuluskan eksplorasi di masa depan. Artemis adalah nama program ekplorasi besar-besaran NASA yang ujungnya mencapai planet Mars; menyediakan tempat hidup yang layak bagi manusia di planet merah.
Dibangun di atas Outer Space Treaty 1967 (OST) atau Perjanjian Luar Angkasa, Artemis Accords menjabarkan serangkaian prinsip tidak mengikat yang mengatur aktivitas di beberapa benda langit, termasuk bulan. Di antara ketentuannya adalah pengakuan atas wilayah bulan tertentu, seperti situs pendaratan satelit Luna Rusia dan jejak kaki Neil Armstrong, sebagai warisan luar angkasa yang dilindungi. Namun secara khusus, perjanjian tersebut juga memungkinkan entitas untuk mengekstraksi dan menggunakan sumber daya luar angkasa, yang tidak disukai semua negara.
Sebanyak 21 negara telah menandatangani Artemis Accords sejauh ini, meskipun beberapa pemain utama, termasuk Rusia, telah menolak berdasarkan klausul ini. Rusia menganggap perjanjian itu memberikan keuntungan yang tidak adil bagi kepentingan bisnis Amerika. Beberapa ilmuwan telah menunjukkan bahwa mengambil sample dari bulan secara harfiah terasa mencurigakan seperti mengeklaim tanah.
Untuk diketahui, bendera dua negara kini berkibar di atas permukaan bulan yang sepi dan menakutkan. Salah satunya adalah bintang dan garis Amerika Serikat. Yang lainnya merah tua Cina. Tetapi jika Anda bertanya kepada pejabat mana pun dari negara-negara ini, mereka akan menjawab Anda bahwa bendera-bendera ini tidak mewakili klaim properti apa pun. Mereka lebih seperti grafiti luar angkasa.
Tetapi, jika menancapkan bendera di bulan tidak dihitung sebagai klaim properti, lalu apa?
Ketika Sputnik 1 Uni Soviet, satelit buatan pertama di dunia, melesat melintasi langit pada bulan Oktober 1957, hal itu membuka kemungkinan baru. Beberapa dari kemungkinan itu bersifat ilmiah, dan yang lainnya legal. Selama dekade berikutnya, komunitas internasional menyusun Outer Space Treaty 1967 (OST). Ini adalah dokumen hukum pertama di dunia yang secara eksplisit berkaitan dengan eksplorasi ruang angkasa.
Perjanjian ini tetap menjadi hukum antariksa yang paling berpengaruh, meskipun faktanya tidak mengikat secara teknis. "Ini bukan kode etik," kata Michelle Hanlon, pakar hukum luar angkasa di Fakultas Hukum Universitas Mississippi. "Itu hanya pedoman dan prinsip."
Meskipun kurangnya penegakan, OST jelas mengatur tentang negara-negara yang melakukan perampasan tanah di luar angkasa. Pasal 2 perjanjian itu secara eksplisit mengesampingkan kemungkinan suatu negara mengklaim kepemilikan bagian ruang angkasa atau benda langit apa pun.
"Suatu negara tidak dapat mengklaim kedaulatan di bulan, titik," kata Hanlon kepada Live Science. Tetapi ketika mereka datang untuk membangun struktur seperti pangkalan dan habitat di tanah bulan, kata Hanlon, segalanya menjadi lebih suram. "Itu semacam (mengambil) wilayah dengan cara lain, kan?"
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlaku di ruang angkasa berdasarkan Pasal 3 OST menyatakan, individu memiliki hak fundamental untuk memiliki properti. Artinya, secara hipotetis, siapa pun dapat membangun rumah di bulan dan mengklaimnya sebagai miliknya. Dan beberapa orang telah mengklaim memiliki bagian dari bulan, termasuk Robert R Coles, mantan ketua Planetarium Hayden Kota New York di American Museum of Natural History. Menurut New York Times, Coles dengan bangganya berusaha menjual tanah bulan seharga 1 dolar AS per hektar pada tahun 1955.
Namun, Pasal 12 OST memasukkan ketentuan yang dapat menggagalkan upaya tersebut. Disebutkan bahwa setiap instalasi pada benda langit lain harus dapat digunakan oleh semua pihak. Dengan kata lain, kata Hanlon, itu harus berfungsi sebagai ruang publik. Perjanjian Bulan tahun 1979 membantu merekonsiliasi Pasal 2 dengan Pasal 12 dengan menetapkan setiap pihak komersial atau individu yang bertindak di luar angkasa dianggap sebagai bagian dari negara asalnya, bukan entitas independen.
Tetapi Amerika Serikat, Cina, dan Rusia sejauh ini gagal meratifikasi perjanjian ini. Hal ini membuat sebagian besar aturan itu dianggap impoten. Saat misi seperti Program Artemis NASA dan proyek pangkalan bulan bersama Cina dan Rusia dimulai, pengacara ruang angkasa seperti Hanlon harus melakukan kerja untuk merekonsiliasi Pasal 2 dengan Pasal 12.
Selain itu, ada jalan lain untuk mengklaim properti di bulan secara tidak langsung. Misalnya, penggunaan peralatan ilmiah, seperti penjelajah robot atau seismometer stasioner. Hal semacam ini akan berpotensi berubah menjadi klaim tanah secara de facto jika tim peneliti melarang orang lain mendekati peralatan mereka. Semua ini pasti akan menjadi masalah hukum dalam beberapa dekade mendatang.
"Dalam banyak hal, ini bukan masalah langsung. Dan dalam banyak hal, memang begitu," kata Hanlon. Tapi pada akhirnya, Hanom menyarankan agar semua pihak harus berhati-hati tentang bagaimana melanjutkan eksplorasi bulan secara bertanggung jawab.
Sumber: Live Scince