Panas Ekstrem 2023, Kenapa Ilmuwan Menyalahkan Letusan Tonga?
ANTARIKSA -- Letusan gunung api bawah laut, Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada Januari 2022 merupakan salah satu letusan terbesar yang tercatat dalam sejarah. Menggelegar di bawah air dengan kekuatan 100 bom Hiroshima, ledakan tersebut mengirimkan jutaan ton uap air ke atmosfer.
Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa komentator berspekulasi bahwa gunung berapi adalah penyebab dari meningkatnya suhu musim panas. Dilaporkan oleh The Hill, bahkan mereka menggunakan gunung berapi tersebut untuk meragukan peran manusia dalam perubahan iklim.
Jadi, apakah letusan dahsyat tersebut bertanggung jawab atas kondisi panas terik di musim panas tahun ini?
“Jawaban singkatnya adalah tidak,” kata Gloria Manney, ilmuwan riset senior di NorthWest Research Associates dan Institut Pertambangan dan Teknologi New Mexico kepada Live Science. Pernyataan Manney juga diperkuat oleh Luis Millan, ilmuwan riset di Jet Propulsion Laboratory NASA.
“Meskipun El Nino telah membuat suhu global lebih tinggi dan letusan Hunga Tonga-Hunga Ha’apai mungkin berdampak pada beberapa wilayah dalam waktu singkat, penyebab utamanya adalah perubahan iklim,” kata keduanya.
Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa letusan dahsyat tidak menyebabkan perubahan iklim ini. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil tetap adalah faktor pendorongnya.
Mengapa sebagian orang menyalahkan gunung berapi?
Menurut para peneliti, letusan gunung berapi besar-besaran biasanya menurunkan suhu karena mengeluarkan sulfur dioksida dalam jumlah besar. Sulfur dioksida dapat membentuk aerosol sulfat yang dapat memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa dan mendinginkan permukaan bumi untuk sementara, alih alih memanaskannya. Namun letusan Tonga memiliki dampak lain karena terjadi di bawah air.
“Letusan Hunga Tonga-Hunga Ha’apai merupakan hal yang aneh karena, selain menyebabkan peningkatan aerosol stratosfer terbesar dalam beberapa dekade, letusan tersebut juga menyuntikkan uap air dalam jumlah besar ke stratosfer,” kata Manney dan Millan.
Uap air merupakan gas rumah kaca alami yang menyerap radiasi matahari dan memerangkap panas di atmosfer. Aerosol dan uap air berdampak berlawanan pada sistem iklim, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa karena gumpalan uap air yang lebih besar dan lebih persisten, letusan dapat menimbulkan efek pemanasan permukaan sementara.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change pada Januari memperkirakan letusan Tonga telah meningkatkan kandungan uap air di stratosfer sekitar 10 - 15 persen. Ini adalah peningkatan terbesar yang pernah didokumentasikan oleh para ilmuwan.
Dimuat majalah Eos pada Maret lalu, para ilmuwan menggunakan sebuah model untuk menghitung bahwa uap air dapat meningkatkan suhu rata-rata global hingga 0,063 derajat Fahrenheit (0,035 derajat Celsius).
Beberapa komentator mengaitkan letusan dengan pemanasan karena temuan tersebut. Sementara penelitian lain menunjukkan potensi efek pemanasan, namun tetap yakin bahwa gunung berapi bukanlah faktor utama dalam cuaca liar akhir-akhir ini.
“Mungkin adil untuk mengatakan bahwa pengaruh (gunung berapi) terhadap suhu ekstrem tahun ini cukup kecil,” kata Stuart Jenkins, seorang ilmuwan iklim dan peneliti pascadoktoral di Universitas Oxford Inggris. Dia adalah penulis utama penelitian tersebut.
Gambaran iklim yang lebih besar
Tren pemanasan bumi terjadi sebelum letusan Tonga. Juli mungkin merupakan bulan terpanas dalam sejarah suhu global, namun NASA telah mencatat lima bulan Juli dalam lima tahun terakhir adalah yang terpanas.
Manney dan Millan mengatakan, model yang lebih rinci diperlukan untuk mengungkap seberapa besar dampak letusan terhadap suhu global dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil dan El Nino. Namun dampak letusan diperkirakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kedua penyebab di atas.
"Suhu global yang memecahkan rekor pada Juli 2023 hanyalah gambaran dari apa yang mungkin terjadi jika kita tidak mengambil tindakan iklim yang lebih berani dan ambisius,” kata Manney dan Millan.
Pada bulan Mei, Organisasi Meteorologi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa ada kemungkinan 66 persen rata-rata suhu permukaan global tahunan yang akan melampaui ambang batas pemanasan berbahaya, yaitu sebesar 2,6 F (1,5 C) dalam lima tahun ke depan. Menurut NASA, pada suhu pemanasan 2,6 F, gelombang panas ekstrem akan semakin meluas, dengan kemungkinan kekeringan yang lebih tinggi dan berkurangnya ketersediaan air. Suhu di atas 2,6 F dapat memicu titik kritis iklim seperti runtuhnya lapisan es Greenland dan Antartika Barat. Sumber: Live Science